SULUT – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara (Sulut) melaksanakan rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sulut, selasa (28/1/2020).
Dalam rapat itu, Komisi I mempertanyakan salah satunya soal Kejelasan soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai calon kepala daerah (cakada) eks koruptor, belum tuntas dalam benak.
Ketua Komisi I DPRD Sulut, Vonny Paat menanyakan tentang revisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 18 yang menindaklanjuti adanya putusan MK.
“Kami kunjungan kerja di pemerintah pusat, di sana mengatakan sudah tidak lama lagi akan ditetapkan (Revisi PKPU, red). Akan melalui proses pembahasan dengan Komisi 2 DPR RI bersama Kementerian Hukum dan HAM (hak asasi manusia). Kami berkeinginan ada penjelasan dari KPU. 5 tahun setelah bebas atau seperti apa,” kata Paat, Selasa (28/1), di ruang rapat Komisi I.
Hal senada terlontar dari Anggota Komisi I DPRD Sulut, Winsulangi Salindeho. Problem putusan MK ini dinilai menjadi sesuatu yang penting untuk mereka ketahui. “Sebenarnya yang kami ingin tahu juga terkait dengan calon yang eks koruptor,” tuturnya.
Terkait eks narapidana koruptor ini, Bawaslu enggan memberikan pernyataan apapun. Hal ini karena berpotensi kepada tugas dan tanggung jawab mereka dalam pengawasan, penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa. “Belajar dari pileg (pemilihan legislatif, red), mantan napi juga selama proses adjudikasi dilaksanakan Bawaslu tidak pernah mengeluarkan pernyataan apapun. Karena jangan sampai dijadikan alat bukti untuk diajukan dalam persidangan yang diadili sendiri oleh kami. Apakah berlaku atau tidak, domainnya ada di teman-teman KPU,” pungkas pimpinan Bawaslu Sulut, Supriyadi Pangellu didampingi Ketua Bawaslu Sulut, Herwyn Malonda.
Ketua KPU Sulut Ardiles Mewoh menyampaikan, dalam PKPU nomor 18 tahun 2019, di pasal 42 huruf f mengurai tentang ketentuan tersebut. Syarat bagi bakal calon dengan status mantan terpidana itu, wajib menyerahkan pertama, surat dari pimpinan redaksi media massa lokal. Di situ menerangkan, calon secara terbuka mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana. Kedua, surat keterangan bahwa bakal calon yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang dari kepolisian. Ketiga, surat keterangan telah selesai menjalani pidana penjara dari kepala lembaga pemasyarakatan (lapas).
“Kemudian, surat keterangan telah menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat atau cuti menjelang bebas dari Kepala Lapas, dalam hal bakal calon mendapatkan pembebasan bersyarat, cuti bersyarat atau cuti menjelang bebas. Dokumen yang terakhir putusan pengadilan,” ujarnya.
Sebelum ada putusan MK, pemahaman KPU dalam PKPU adalah yang dimaksud dengan mantan terpidana ini adalah termasuk orang yang sebelumnya terpidana. Namun dirinya sudah harus selesai menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat atau cuti menjelang bebas dari Kepala Lapas.
“Jadi arah kebijakan KPU nanti, walaupun tidak ingin mendahului PKPU adalah, yang dimaksud terpidana korupsi adalah sudah selesai menjalani. Apabila dia menjalani pembebasan bersyarat dan cuti bersyarat. Memang sudah selesai semua. Sekarang putusan MK terbit 5 tahun. Berarti 5 tahun sudah selesai semua. Termasuk masa pembebasan bersyarat,” urai Mewoh.
Masalah ini menurutnya, belajar dari pilkada serentak 2015 di Sulut. Masih ada kekosongan terkait aturan menyangkut mantan terpidana ini. “Tapi saya tidak ingin mendahuli PKPU. Sebelum putusan MK, pemahaman kami terkait orang yang terpidana sudah demikian. Setelah terbit putusan MK, harus ada jeda 5 tahun. Tapi terkait putusannya seperti apa, itu yang harus kita tunggu. Kalau sudah terbit semua, kita akan sosialiasikan,” tutupnya.
(Ardybilly)