
Bagian 1: Ekonomi Indonesia 2025 – Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa kondisi ekonomi nasional di tahun 2025 berada dalam keadaan yang baik. Dalam berbagai pernyataan resmi, terlihat narasi optimisme: inflasi rendah, pertumbuhan stabil, dan daya tahan ekonomi yang kuat menghadapi tantangan global. Namun, apakah narasi ini mencerminkan kenyataan di lapangan?
Menurut Ferry Irwandi, seorang influencer dan salah satu pendiri channel YouTube Malaka dalam percakapannya dengan Pandji Pragiwaksono dalam program “Skakmat” di Youtube, data yang disampaikan pemerintah memang benar, tetapi telah mengalami apa yang ia sebut sebagai “cherry-picking”. Artinya, data yang dipilih untuk ditampilkan adalah yang mendukung narasi positif, sementara data yang mengindikasikan adanya masalah tidak ditampilkan secara menyeluruh.
Contohnya, inflasi umum Indonesia saat ini memang rendah, tetapi inflasi inti — yaitu kenaikan harga barang dan jasa yang lebih sulit dikendalikan seperti perhiasan emas dan pendidikan — mengalami lonjakan signifikan. Harga-harga sektor ini melonjak tajam, dan inilah yang dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama kelas menengah dan bawah. Dengan demikian, meskipun secara makroekonomi inflasi terlihat rendah, daya beli masyarakat tetap tertekan.
Berita Lainnya
Fenomena ini tercermin nyata pada momen Lebaran 2025. Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, jumlah pemudik menurun drastis, begitu pula dengan aktivitas konsumsi masyarakat. Pasar-pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan layanan transportasi mengalami penurunan pendapatan yang signifikan.
Dalam konteks ini, seharusnya Bank Indonesia (BI) dapat melakukan intervensi, salah satunya dengan menurunkan suku bunga agar masyarakat terdorong untuk membelanjakan uang dan memulihkan ekonomi domestik. Namun, BI berada dalam posisi dilematis.
Jika BI menurunkan suku bunga, memang akan lebih banyak uang beredar dan potensi konsumsi meningkat karena kredit menjadi lebih murah. Namun langkah ini juga dapat memperlemah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Saat ini, rupiah sudah berada pada kisaran Rp16.500an per dolar, dan penurunan lebih lanjut akan menambah tekanan terhadap sektor impor dan utang luar negeri.
Sebaliknya, jika BI menaikkan suku bunga, maka akan terjadi capital outflow, yakni arus modal asing keluar dari Indonesia menuju negara-negara dengan suku bunga lebih menarik. Hal ini dapat mengurangi cadangan devisa dan menyebabkan ketidakstabilan pasar keuangan nasional.
Apa itu capital outflow? Capital outflow terjadi ketika investor asing menarik modal mereka dari suatu negara karena imbal hasil (return) yang dianggap lebih rendah atau risiko investasi di negara tersebut lebih tinggi, seperti ketidakstabilan ekonomi, politik, atau perubahan kebijakan yang merugikan.. Dalam konteks ini, jika BI menaikkan suku bunga untuk menjaga nilai rupiah, maka bisa memicu investor untuk memindahkan dana mereka ke negara lain dengan kondisi ekonomi yang lebih menjanjikan. Ini dapat menyebabkan krisis likuiditas dan memperburuk ketidakstabilan pasar.
Ferry Irwandi juga menyoroti peran program-program pemerintah seperti MBG (Makan Bergizi Gratis) yang walau memiliki niat baik, namun dalam pelaksanaannya bisa memicu tekanan fiskal tambahan jika tidak diimbangi dengan kebijakan moneter yang tepat.
Bagian 2: Ekonomi Sulawesi Utara – Realitas yang Harus Diakui
Bagaimana dengan keadaan ekonomi di Sulawesi Utara? Data dari rilis BRS (Berita Resmi Statistik) pada 5 Februari 2025 menunjukkan bahwa ekonomi Sulawesi Utara pada tahun 2024 tumbuh sebesar 5,39%, lebih rendah dibandingkan 5,48% pada 2023. BRS adalah publikasi resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang memuat ringkasan data statistik terbaru, termasuk indikator makroekonomi seperti pertumbuhan ekonomi. Data ini mengindikasikan adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi bahkan sebelum memasuki tahun 2025. Walaupun belum tersedia data resmi untuk kuartal pertama tahun ini, tren perlambatan ini menjadi peringatan penting bahwa optimisme nasional tidak serta merta tercermin di daerah.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih konkret, kami melakukan wawancara dengan beberapa pelaku ekonomi di Kota Manado sebagai ibu kota provinsi.
Menurut Bapak Stev, seorang pemilik toko material bangunan: “Jika dibandingkan antara tiga bulan awal tahun ini (Januari – Maret 2025) dengan tiga bulan awal tahun-tahun sebelumnya, menurut saya kurang lebih sama. Tapi jika bicara soal (barang) cat dalam rangka Idul Fitri… saya melihat tahun ini lebih laris. Namun, banyak yang memberi statement bahwa mulai pertengahan bulan Juni 2025 hingga tahun 2026, perekonomian kita akan lebih lesu karena masalah nilai tukar dollar, utang RI yang akan jatuh tempo, pendapatan negara turun, anggaran belanja meningkat, banyak perusahaan yang tutup, dan muncul PHK yang akan berimbas ke daya beli masyarakat yang saat ini sudah mulai kelihatan tren turun.”
Harapan Bapak Stev untuk pemerintah: “Kiranya diberikan fasilitas atau kemudahan dalam membangun perekonomian rakyat dengan misalnya: izin usaha dipermudah, fasilitas kredit, berantas pungli, mempermudah investor yang mau masuk, dan menjamin kepastian hukum.”
Seorang pengusaha toko pakaian di kawasan Megamas Manado, bapak Robert, menilai: “Keadaan saat ini sangat parah, jika dibandingkan tahun sebelumnya masih lebih baik tahun-tahun yang lalu. Untuk sekarang ini di daerah kita masih belum bangkit, daya beli lesu. Di masyarakat, uang sangat susah didapat.”
Harapan bapak Robert untuk pemerintah: “Pemerintah harus turun tangan untuk memutar roda perekonomian di daerah ini, dengan mengucurkan dana untuk masyarakat seperti program padat karya dan mengatasi pengangguran. Supaya perekonomian daerah ini berjalan sebagaimana mestinya.”
Seorang pengusaha hotel di Manado juga memberikan pandangan bahwa periode Januari hingga Maret 2025 agak lebih baik sedikit dari tahun 2024. Namun secara umum mereka menilai ekonomi Indonesia 2025 tetap suram karena harga tiket domestik yang masih tinggi hingga saat ini. Harapan mereka adalah, pemerintah, khususnya pemerintah daerah Sulawesi Utara, mampu mendatangkan turis yang bisa tinggal beberapa hari (lebih lama) di Manado, bukan hanya sekadar transit.
Temuan-temuan lapangan ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi di Sulawesi Utara tidak sepenuhnya tercermin dalam narasi nasional. Ada tantangan nyata yang dirasakan masyarakat, khususnya pelaku usaha kecil dan menengah, yang membutuhkan respons cepat dan konkret dari pemerintah daerah maupun pusat.
Bagian 3: Penutup
Melalui kombinasi data nasional dan pengamatan lokal, kita dapat menarik kesimpulan bahwa perekonomian Indonesia di tahun 2025 berada dalam posisi yang ambigu: stabil di permukaan, namun penuh tekanan di dalam. Indikator nasional seperti inflasi rendah dan proyeksi pertumbuhan tetap menjadi pijakan optimisme, tetapi realitas di lapangan memperlihatkan lemahnya daya beli, tingginya inflasi inti, dan ancaman terhadap stabilitas nilai tukar rupiah.
Sementara itu, di tingkat daerah seperti Sulawesi Utara, perlambatan ekonomi sudah terasa sejak 2024 dan berlanjut hingga awal 2025. Meski tidak semua sektor menunjukkan penurunan yang drastis, ada tren kekhawatiran yang merata di kalangan pelaku usaha. Wawancara kami mencerminkan tekanan yang dirasakan masyarakat akibat minimnya perputaran uang, terbatasnya stimulus ekonomi, dan lemahnya dukungan struktural terhadap UMKM dan sektor produktif.
Melihat ke depan, pemerintah daerah dan pusat perlu bekerja lebih erat untuk memastikan bahwa kebijakan ekonomi nasional tidak hanya bersifat makro dan agregat, tetapi juga menyentuh akar permasalahan di daerah. Fasilitasi kemudahan usaha, penciptaan lapangan kerja melalui program padat karya, serta kebijakan fiskal yang tepat sasaran akan menjadi kunci dalam menjaga kestabilan ekonomi di masa mendatang.
Ekonomi bukan hanya tentang angka, tetapi tentang bagaimana masyarakat merasakannya. Dalam hal ini, suara-suara dari Sulawesi Utara memberikan peringatan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh hanya dilihat dari statistik, tetapi juga dari denyut kehidupan rakyat sehari-hari.