“Kita tidak sedang berbicara tentang angka. Kita sedang membicarakan nyawa—anak-anak yang menjadi yatim piatu, ibu yang kehilangan anak, dan masyarakat yang diam-diam menyaksikan kehancuran dari balik tembok rumah orang lain.”
Di Balik Pintu yang Tertutup: Nyawa yang Terancam
Tragedi kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia telah lama menjadi realitas pahit yang tersembunyi di balik wajah manis kehidupan domestik. Di ruang-ruang tamu yang tampak damai, di balik senyum basa-basi para tetangga, ada cerita-cerita menyakitkan yang tak pernah sampai ke meja hukum atau ruang terapi. Dalam sepuluh tahun terakhir, ratusan perempuan kehilangan nyawanya di tangan orang yang seharusnya melindungi mereka: suami sendiri.
Data dan statistik hanyalah permukaan dari luka yang dalam. Di balik angka-angka itu ada wajah-wajah, ada masa depan yang dipadamkan. Ironisnya, sebagian besar pelaku kekerasan ini adalah mereka yang masih berada dalam usia produktif—usia yang seharusnya digunakan untuk membangun masa depan, bukan menghancurkannya.

Tragedi di Kotamobagu: Sebuah Alarm Keras
Peristiwa yang terjadi pada Minggu, 11 Mei 2025, di Kelurahan Motoboi Kecil, Kotamobagu Selatan, Sulawesi Utara, menjadi potret terbaru dari tragedi yang berulang. Seorang suami membunuh istrinya sendiri. Masyarakat gempar, media meliput, namun publik segera melupakan. Dan ketika semua perhatian meredup, luka di dalam keluarga dan komunitas itu tetap menganga. Ini bukan kasus pertama, dan jika kita tidak mengubah arah, ini pasti bukan yang terakhir.
Berita Lainnya
Femisida: Saat Cinta Menjadi Jerat Maut
Kata “femisida” mungkin terdengar asing bagi banyak orang, namun kenyataannya, ini adalah bentuk pembunuhan yang paling umum dalam konteks rumah tangga. Femisida adalah pembunuhan perempuan karena jenis kelaminnya, sering kali terjadi dalam hubungan intim, dan sering kali setelah periode panjang kekerasan.
Menurut laporan Komnas Perempuan, pada tahun 2023 saja terdapat 72 kasus femisida intim di Indonesia. Pada tahun 2024 terjadi peningkatan sebanyak 290 kasus femisida (baca: newsdetik). Sementara itu, data juga menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, sekitar 500 hingga 700 istri telah tewas dibunuh oleh suami mereka. Jumlah suami yang dibunuh oleh istri jauh lebih sedikit, sekitar 50 kasus. Namun setiap kasus tetaplah tragedi kemanusiaan yang memilukan.
Generasi Muda dalam Jeratan Kekerasan
Yang lebih mengkhawatirkan, para pelaku dalam banyak kasus ini justru berasal dari generasi muda—mereka yang berusia di bawah 30 tahun. Kejadian yang terjadi di Kotamobagu pada hari Minggu 11 Mei tersebut, terduga pelaku bernama Dody Mamonto masih berusia 26 tahun, menikam istrinya yang bernama Sri Utami Potabuga yang berusia 29 tahun. Generasi yang tumbuh dalam era digital, terpapar informasi, namun tidak dibekali kecakapan emosional yang cukup untuk membangun relasi yang sehat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sekitar 53% pelaku kejahatan di Indonesia adalah anak muda. Jika pola ini diterapkan ke kasus kekerasan dalam rumah tangga, maka kita sedang menyaksikan generasi muda yang sedang gagal membangun masa depan damai karena terseret dalam pola kekerasan yang terus berulang.
Konflik, Kekuasaan, dan Patriarki
Mengapa ini terjadi? Konflik dalam rumah tangga sejatinya adalah hal yang wajar, namun ketika konflik itu dipicu dan direspon dengan kekerasan, maka kita memasuki wilayah berbahaya. Faktor pemicu paling umum adalah kecemburuan, ketersinggungan, pertengkaran ekonomi, hingga penolakan untuk bercerai.
Namun di balik motif-motif itu tersembunyi akar yang lebih dalam: budaya patriarki yang menormalisasi dominasi laki-laki dalam relasi. Ketika seorang laki-laki merasa harga dirinya diinjak hanya karena istri berpendapat atau menolak, dan sistem sosial tidak memberi alternatif lain selain kekerasan, maka tragedi pun terjadi.
Komnas Perempuan mencatat bahwa dalam banyak kasus femisida, pelaku merasa sedang “menghukum” istri mereka karena dianggap melanggar norma atau menolak tunduk. Ini bukan hanya soal kriminalitas, ini soal kegagalan sistem pendidikan, norma sosial, dan kebijakan negara dalam membentuk relasi setara.
Terlambat Menangani, Terlalu Banyak yang Kehilangan
Salah satu masalah terbesar dalam kasus kekerasan rumah tangga adalah bahwa kekerasan jarang dimulai dengan pembunuhan. Ia dimulai dengan kontrol, dengan pelecehan verbal, dengan ancaman, dengan isolasi. Namun sayangnya, banyak korban tidak berani melapor karena takut tidak dipercaya, atau karena tekanan sosial yang menyalahkan korban.
Pada akhirnya, banyak kasus yang baru diketahui ketika sudah terlambat. Korban sudah meninggal, anak-anak sudah menjadi yatim piatu, dan pelaku pun kehilangan masa depannya dalam penjara. Trauma ini tidak berhenti di ruang sidang. Ia menyebar ke dalam komunitas, menyelimuti keluarga besar, dan menjadi bayang-bayang dalam kehidupan anak-anak yang tumbuh dalam kekerasan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
1. Pendidikan Relasi Sehat Sejak Dini
Pemerintah perlu menyusun kurikulum pendidikan yang menyentuh akar persoalan. Anak-anak dan remaja perlu diajarkan bukan hanya matematika dan sains, tetapi juga bagaimana menjalin relasi yang sehat. Pelajaran tentang empati, komunikasi asertif, dan pengelolaan emosi harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
2. Akses Bantuan yang Nyata dan Cepat
Banyak korban tidak tahu ke mana harus pergi saat mereka mengalami kekerasan. Oleh karena itu, informasi mengenai hotline, rumah aman, pendamping hukum, dan layanan konseling harus tersedia secara luas di ruang publik, termasuk di media sosial dan fasilitas pelayanan publik.
Selain itu, lembaga-lembaga layanan korban harus didukung dengan anggaran dan sumber daya manusia yang memadai agar dapat merespons cepat setiap laporan yang masuk.
3. Reformasi Sistem Hukum yang Berperspektif Korban
Masih banyak aparat penegak hukum yang tidak memahami dinamika kekerasan berbasis gender. Akibatnya, korban sering kali dipersulit, bahkan disalahkan. Ini harus berubah. Pelatihan wajib berbasis perspektif korban dan gender harus diberikan kepada polisi, jaksa, dan hakim. Proses hukum juga harus meminimalkan trauma sekunder bagi korban.
Kesimpulan: Ini Bukan Takdir, Ini Panggilan untuk Bertindak
Pembunuhan dalam rumah tangga bukanlah hasil dari nasib buruk, melainkan akumulasi dari kegagalan kolektif kita: gagal mengedukasi, gagal memberi perlindungan, gagal menciptakan budaya yang sehat. Ini adalah tragedi yang bisa dicegah jika kita semua mengambil bagian dalam mencegahnya.
Kita tidak bisa terus bersikap pasif. Setiap nyawa yang hilang karena femisida harus menjadi pengingat bahwa di balik diamnya kita, ada penderitaan yang sedang berlangsung. Pemerintah, masyarakat sipil, media, lembaga agama, dan setiap individu memiliki peran. Mari bergerak bersama, karena rumah seharusnya menjadi tempat yang paling aman, bukan tempat di mana kehidupan direnggut secara tragis.
Catatan: Artikel ini disusun berdasarkan data dari Komnas Perempuan, BPS, dan dari berbagai sumber media digital.