Membaca sajak dari Rudolf Otto Wiemer (1905 – 1998), saya menjadi terkesima dengan apa yang diperjuangkan oleh seekor ulat. Dikisahkan bahwa ulat itu merayap dan merayap dan terus merayap untuk sampai pada rumput yang hijau segar.
Sementara di jalan itu
lewat dua puluh mobil dalam satu menit
dan ribuan dalam satu jam.
Tetapi ia merayap maju perlahan-lahan,
ia merayap, merayap, merayap
dan akhirnya tiba di seberang.
Orang yang sedang berjuang tidak akan merengek-rengek minta kemudahan. Sebaliknya, ia menempuh jalan yang sempit (Bdk. Mat. 7: 14) atau tidak ikut arus, seperti yang ditulis oleh Seneca, nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca (4 seb.M – 65) “…Tidak ada yang lebih menyenangkan kita daripada hidup atas desas-desus dan anggapan oran g lain, sembari mengira bahwa apa yang menimbulkan sorak-sorai adalah yang terbaik, hingga akhirnya kita hidup di dalam tirani imitasi.” Atau the long and winding road (jalan panjang dan berliku) seperti yang dilagukan The Beatles. Jalan yang sempit dan tidak ikut arus serta berliku-liku itu sebagai symbol bahwa hidup manusia itu merupakan perjuangan, “Bagaimana bisa mendapatkan nafkah, kalau tidak ada perjuangan dalam hidupnya?” Sekali lagi Seneca menulis, Militia est vita hominis super terram – “hidup manusia di dunia ini merupakan sebuah perjuangan.” Tanpa bergerak, berpikir, atur strategi dan berjuang, maka hidup ini akan mandeg. Lihat saja, bagaimana Pandawa Lima, kelima satria gagah perkasa itu mengakhiri hidup mereka. Tatkala berperang dalam Bharatayuda, mereka gagah-perkasa. Tetapi setelah semua musuh tumpas tapis, negara luluh lantak, mereka menjadi loyo dan akhirnya mati bukan karena perang, melainkan karena kelelahan. Tidak heranlah jika ada orang yang mengalami post power syndrom. Ketika masih muda berjuang namun tiba-tiba harus berhenti berjuang – karena pension – tentu saja akan membuat dirinya merasa tidak berarti. Pada dasarnya, setiap manusia ingin berjuang dan hidupnya berguna. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Khairunnas unfa’uhum linnas” Hadis Riwayat Bukhari yang berarti: sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak manfaatnya (Bdk. Berbisnis dengan Hati: KH. Abdullah Gymnastiar dan Hermawan Kartajaya).
Pidato Bung Karno (1901 – 1970), singa podium yang berjudul, “Vivere Pericoloso” (17-8-1964), berisikan tentang perjuangan yang telah dibuat rakyat untuk menapaki “jembatan emas kemerdekaan”. Perjuangan yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia telah menghasilkan kusuma bangsa yakni para pahlawan yang telah mengorbankan dan mempertahkan tanah air sampai titik darah penghabisan. Ir. Sukarno dalam Di Bawah Bendera Revolusi menulis, “Tiada pengorbanan yang sia-sia, tiada pengorbanan yang tidak berfaedah, tiada pengorbanan yang terbuang – no sacrifice is wasted.” Kata-kata itu ditujukan kepada Tjipto Mangunkusuma (1886 – 1943) dan tentu saja juga untuk para pejuang bangsa lainnya. Untuk mencapai kehidupan yang bebas-merdeka, jalannya penuh onak dan duri. Untuk mencapai puncak Golgotha atau Kalvari harus melewati via dolorosa (jalan penderitaan). Supaya lulus dalam ujian, seorang pelajar harus belajar siang dan malam. Tidak ada jalan mudah dari bumi ke bintang-bintang. Karena itu diperlukan kerja keras, Per ardua ad astra – “Bersusah payah untuk sampai ke bintang.” Istilah zaman sekarang, “Tidak ada makan siang yang gratis!”
Pius Pandor dalam Ex Latina Claritas menulis bahwa perjuangan itu suatu tugas terus-menerus. Hidup bagaikan sebuah kompetisi yang harus dimenangkan. Untuk memenangkannya, kita memerlukan sebuah keutamaan yaitu keberanian untuk mengembangkan kebiasaan yang efektif. Damien Dematra dalam Si Anak Panah melukiskan perjuangan Buya Syafii Maarif. Waktu masih muda, dia sudah merantau di Jawa. Dia tidak pernah menolak pekerjaan, “yang penting halal” katanya. Ia sudah pernah bekerja mulai dari tukang besi, guru sekolah, guru ngaji dan pelayan toko dan kuliah tentunya. Pepatah Latin menegaskan: Fortis et fideli nihil difficile – “Bagi mereka yang berani dan setia (tekun) tidak ada sesuatu yang sukar (200113).
Oleh: Markus Marlon