Oleh : Dr. Ferry Daud Liando
PP Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI)
SULUT – Minggu lalu KPU mulai mempersiapkan Peraturan KPU (PKPU) tentang pelaksanaan tahapan Pendaftaran, Verifikasi dan Penetapan Partai Politik (parpol) Peserta Pemilu 2024. PKPU yang akan disusun merupakan penyempurnaan atas regulasi yang telah dipergunakannya pada pemilu sebelumnya. Mengacu pada ketentuan PKPU 11/2019, jadwal waktu pendaftaran parpol peserta pemilu ditetapkan oleh KPU paling lambat 20 bulan sebelum hari pemungutan suara. Meski pemilu 2024 akan menggunakan UU yang sama dengan UU Pemilu 2019, namun penyempurnaan masih perlu dilakukan sehubungan dengan adanya putusan terbaru dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Tahun lalu, MK melalui putusan No. 55/PUU-XVIII/2020 tentang Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu menyebutkan bahwa parpol yang telah lolos verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada pemilu 2019 tidak perlu diverifikasi secara faktual. Parpol itu PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), NasDem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Parpol diluar itu harus dilakukan verifikasi faktual termasuk untuk parpol baru, calon peserta pemilu 2024.
Pemberlakuan syarat yang tidak adil akan menjadi tantangan berat bagi parpol baru. Bagaikan perlombaan lari maraton, peserta lomba tidak berada dalam posisi start yang sama, melainkan ada 9 pelari yang ditempatkan di bagian depan dekat posisi finis. Mereka tidak perlu berlari sekuat tenaga, tinggal memastikan agar posisi mereka tidak terkejar. Sebelum pistol start aba-aba dibunyikan sudah dapat ditebak siapa pemenang dan menjadi penghuni di parlemen nanti. Para pelari ini tentu sangat diuntungkan, maklum aktor-aktor dalam institusi yang membuat kebijakan ini sebagian produk dari mereka.
Menjadi parpol baru tidak semudah yang dibayangkan para pendirinya. Bukan hanya sulit bagaimana memenuhi ketentuan syarat pendirian parpol sebagaimana UU Pemilu, namun tantangan yang tidak kalah berat adalah bagaimana parpol baru bisa berkompetisi dengan parpol-parpol lama yang telah lebih dahulu eksis untuk mendapatkan suara 4 persen agar diikutsertakan dalam penghitungan suara kursi parlemen.
Terdapat 5 tantangan berat yang harus dilalui parpol baru untuk dapat menjadi peserta pemilu maupun untuk mencapai perolehan ambang 4 persen suara hasil pemilu.
Pertama, tantangan untuk memenuhi ketentuan administratif agar dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu. Parpol harus memiliki dokumen berita negara yang menyatakan bahwa parpol terdaftar sebagai badan hukum, surat keterangan dari pengurus pusat parpol tentang kantor dan alamat tetap pengurus tingkat pusat, pengurus tingkat Provinsi, dan pengurus tingkat Kabupaten/Kota, bukti keanggotaan parpol paling sedikit 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk pada setiap Kabupaten/Kota, memiliki kepengurusan di seluruh Provinsi, memiliki kepengurusan paling sedikit 75% dari jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan paling sedikit di 50% jumlah Kecamatan, menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat. Dokumen yang diajukan masih harus di verifikasi faktual untuk pencocokan kebenaran dari isi dokumen dengan fakta yang sebenarnya. Belajar dari pengalaman, proses pencocokan ini sangat penting sebab banyak parpol memuat data fiktif atau data yang tidak benar seperti keadaan kantor, keadaan kepengurusan dan keadaan jumlah pengurus 30 persen keterwakilan perempuan. Ada masyarakat yang mengaku tidak pernah menyatakan kesediaan diri menjadi pengurus, tapi tercatat sebagai pengurus.
Kedua, tantangan dalam merumuskan ideologi, platform atau branding parpol. Bagi pemilih salah satu cara untuk dapat membedakan ketertarikan satu parpol dan parpol lainnya terletak pada ketiga hal itu. Label parpol di Indonesia cenderung bukan menspesifikasikan pada area kebutuhan publik berdasarkan kebutuhan profesi yang hendak diperjuangkan. Seperti partai buruh untuk kepentingan pekerja, partai hijau untuk kepentingan kelestarian alam dan lingkungan, partai rakyat untuk kepentingan petani dan kelas menengah ke bawah. Di Indonesia, label parpol identik pada partai agama, partai nasionalis dan partai nasionalis agama. Pemilih di Indonesia pun sebagian besar telah terpolarisasi pada 3 gerbong besar itu. Sangat wajar jika menjelang pemilu banyak politisi berubah wujud menjadi ahli pemuka agama, alim ulama dan penghotbah. Kalau parpol-parpol lama telah mengklaim ke 3 branding itu, lantas branding apa lagi yang hendak ditawarkan parpol baru untuk dijadikan ideologi atau paltform sebagai makanan umpan perangkap bagi calon pemilih.
Ketiga, perjuangan parpol akan terbentur juga dengan persepsi publik terhadap parpol yang dianggap makin buruk belakangan ini. Penilaian itu disebabkan buruknya kinerja parpol dalam mempersiapkan calon pemimpin publik. Akibatnya banyak politisi parpol melakukan korupsi, menghalalkan segala cara untuk berkuasa seperti menyogok pemilih (politik uang) untuk mendapatkan suara, menyuap penyelenggara untuk mengubah hasil pemilu serta mengadu domba pemilih dengan politisasi sara. Tata kelola kekuasaan oleh kader-kader parpol kerap bukan untuk kepentingan rakyat tapi hanya untuk kepentingan diri sendiri dan parpol.
Publik sepertinya tidak akan yakin apakah tabiat parpol baru akan berbeda dengan tabiat buruk parpol lama. Sebab sebagian besar parpol yang sudah ada saat ini, saat waktu proses perjuangannya untuk menjadi peserta pemilu juga melakukan cara memengaruhi pemilih dengan ikrar dan janji sebagaimana apa yang dilakukan oleh pendiri parpol baru saat ini.
Pasca tumbangnya orde baru dan memasuki era reformasi ada banyak elite mendirikan parpol baru. Untuk mendapatkan dukungan pemilih, para pendiri selalu mengajak masyarakat untuk berkaca pada parpol lama yang cenderung korup, nepotisme dan kolusi. Sehingga mereka menawarkan diri sebagai elite dan parpol baru sebagai solusi.
PKS pada awal pendiriannya mengusung semangat dakwah dan antikorupsi. Tapi Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditangkap KPK karena korupsi. Partai Gerindra lahir bermula dari keprihatinan para pendiri, untuk mengangkat rakyat dari jerat kemelaratan, akibat permainan orang-orang yang tidak peduli pada kesejahteraan. Belakangan kader parpol itu Edhy Prabowo ditangkap KPK karena korupsi dan dinilai tidak peduli dengan kesejahteraan rakyat. Untuk menjadi daya tarik pemilih, partai Demokrat diawal pendiriannya memiliki slogan “Katakan Tidak pada Korupsi”. Tapi belakangan Ketua umumnya Anas Urbaningrum dan kader lainnya seperti Andi Malaranggeng, Nazaruddin dan Angelina Sondakh masuk dalam jajaran koruptor kelas kakap.
Ketika PKB didirikan semangat awal para pendiri adalah untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan terpercaya dalam rangka peningkatan pelayanan publik, namun kenyataannya salah satu kader Imam Nahrawi menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap KONI kepada Kemenpora terkait dana hibah Tahun Anggaran 2018. NasDem sejak awal pembentukannya mengampanyekan perjuangan restorasi. Boro-boro mengubah menjadi baik malah kadernya Rio Capella dipenjara selama 2,5 tahun setelah tertangkap tangan oleh KPK karena menerima uang Rp250 juta. Ketika itu, Capella masih menjabat sebagai anggota DPR di Fraksi Partai NasDem.
PAN di awal pendiriannya bercita-cita menjadikan agama dan etika berbangsa serta bernegara sebagai landasannya. Tapi kadernya yang merupakan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan ditetapkan tersangka oleh KPK terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
Partai-partai bekas orde baru yang hingga kini masih eksis seperti PDIP (dahulunya disebut PDI), Golkar dan PPP tidaklah kalah kelasnya dalam mengoleksi koruptor.
Melihat performa parpol saat ini, tentu tidaklah gampang bagi parpol baru untuk eksis. Parpol baru akan terdampak limpahan dosa-dosa politik parpol terdahulu. Apalagi harapan dan cita para elite-elite pendiri parpol baru sama persis dengan kalimat-kalimat, harapan dari pendiri parpol yang telah ada saat ini.
Keempat, belajar dari pengalaman pendirian parpol terdahulu, ternyata motif sebagian besar parpol didirikan bukan semata untuk kepentingan publik. Banyak elite parpol yang kalah berkompetisi untuk menjadi ketua umum parpol atau berkompetisi merebut rekomendasi pencalonan presiden atau jabatan-jabatan tertentu. Kalah berkompetisi di internal maka hal yang dilakukannya adalah membentuk parpol baru. Prabowo, Wiranto, dan Surya Paloh dahulunya adalah kader Golkar. Elite-elite pendiri PAN dan PKB sebelumnya pernah di PPP. Fenomena ini mirip dengan pendirian parpol Gelora yang pendirinya kini adalah dari mantan elite-elite PKS.
Baik di pusat dan daerah, meski tingkat perolehan suara parpol baru itu kecil tapi tetap menjadi efektif sebagai bergaining posisi untuk mendapatkan jabatan. Parpol bari bergabung dan menyatakan dukungan pada calon presiden/wakil presiden yang diusung parpol lainnya. Konsekuensi atas semua itu adalah diperoleh banyak jabatan di BUMN, cukup untuk mendapatkan penghidupan yang layak memenuhi makan keluarga. Dalam hal ini janji parpol untuk mewujudkan kepentingan masyarakat tidak terpenuhi karena gagal memperoleh kursi di parlemen.
Di daerah, parpol-parpol yang kerap disebut gurem ini kerap dijodohkan atau sekedar diperdagangkan kepada parpol lain dalam rangka memenuhi ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah. Ada parpol besar yang perolehan kursinya tidak mencapai perolehan kursi 20 persen di DPRD sebagaimana syarat UU 10/2016. Maka cara untuk mencukupinya adalah membeli kursi milik parpol gurem agar syarat ambang batas terpenuhi.
Kelima, adalah tantangan dalam merekrut figur sebagai daya tarik. Figur merupakan cara lain untuk mempengaruhi pemilih selain pada ketertarikan pemilih pada ideologi, platform atau branding. Sejumlah parpol sempat menjadi fenomenal dan berada dipapan atas perolehan suara pemilu, disebabkan karena pengaruh figur yang menjadi simbol parpol. Seperti Ibu Megawati Soekarno Putri di PDIP, Gus Dur di PKB dan Amin Rais di PAN serta Susilo Bambang Yudhoyono di Demokrat. PSI, meski tidak mencapai ambang batas perolehan kursi DPR RI pada pemilu 2019 namun perolehan kursi parpol itu di daerah sangat dominan. Strategi marketing politic dengan cara “menjual” figur Basuki Tjahaya Purnama menjadi salah satu daya tarik pemilih terhadap parpol ini.
Tantangan terberat dari parpol baru adalah apakah mampu menyodorkan figur populer yang bisa menjadi magnet pemilih. Tanpa figur, maka kekuatan finansial parpol tidak akan menjamin.