
Gubernur Sulawesi Utara Dr. Sinyo Harry Sarundajang, hadir dan memberikan kontribusi pemikiran dalam pertemuan eksploratif visi bersama untuk masa depan Papua yang dilaksanakan di GKIC Manado, Senin (29/4). Kehadiran tokoh pluralisme tersebut bukan tanpa alasan. Sarundajang mempunyai ikatan emosional yang cukup kuat dengan daerah Papua ketika Sarundajang melaksanakan mandat dari Kemendagri atas penentuan batas wilayah antara negara dalam hal ini Papua untuk Indonesia dan Papua Nugini. ‘’Pada dasarnya Papua merupakan elemen penting untuk terus dipertahankan dalam kesatuan politik maupun teritorial Indonesia. Sebagai elemen penting, Papua harus dibangun sama seperti daerah lain. Namun ternyata ada banyak kejanggalan,’’ ujar mantan Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Bidang Strategis ini.
Sarundajang selanjutnya menjelaskan, keberadaan Papua dalam NKRI sah secara hukum internasional berdasarkan hasil penyelenggaraan act of free choice pada tahun 1962 dan pernyataan dukungan dari negara lain. ‘’Namun sebagian masyarakat Papua terus mempersoalkan sejarah integrasi Papua ke Indonesia,’’ tukasnya sembari menambahkan belum lagi soal kebijakan politik dan ekonomi yang telah dikeluarkan untuk daerah Papua yang terbilang sangat banyak. Di antaranya penetapan dan pemberlakuan UU nomor 21 tahun 2001 mengenai otonomi khusus Papua sejak 21 November 2001. ‘’Banyak pihak optimis bahwa otonomi khusus Papua merupakan solusi terbaik bagi Papua maupun Jakarta. Namun kenyataannya Papua masih bergejolak bahkan tidak sedikit yang menyatakan bahwa otonomi khusus Papua telah gagal,’’ sesal mantan Ketua Delegasi Indonesia dalam Perundingan Pembahasan Lintas Batas Papua New Guinea–Indonesia di Jayapura Tahun 2001.
Menurut Sarundajang, merujuk pada hasil penelitian LIPI pada akhir 2008 lalu, ada empat masalah utama di Papua, yakni menyangkut marjinalisasi dan diskriminasi atas masyarakat asli Papua, kegagalan pendekatan dan paradigm pembangunan, berlangsungnya kekerasan negara dan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik Papua. ‘’Dan menurut saya, pokok penyelesaian masalah tersebut harus mencakup proses dan juga hasil. Itu artinya pelibatan sebanyak mungkin pemangku kepentingan merupakan proses yang bukan saja sangat penting, melainkan harus dilakukan terutama untuk membangun rasa memiliki dan tanggungjawab atas hasil yang disepakati,’’ tandasnya sambil menegaskan bahwa dengan demikian maka pemerintah akan mendapat legitimasi yang kuat.
Dalam pertemuan eksploratif tersebut Sarundajang memberikan apresiasi kepada masyarakat Papua yang dinilai senantiasa berupaya memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa. Bahkan bisa dikatakan bahwa orang Papua tidak datang ke republik dengan tangan kosong, tetapi dengan memberikan banyak hal. Oleh karena itu, berbagai stigma yang sering digunakan atas dasar kecurigaan seperti simpatisan atau anggota OPM, separitis, melawan pemerintah pusat dan sebagainya, sudah tidak tepat lagi digunakan dan dipertahankan. ‘’Dengan pelaksanaan undang-undang otonomi khusus bagi Papua secara konsekuen, semua pihak akan menyaksikan tampilnya patriot-patriot Indonesia asa Papua,’’ jelas Sarundajang. (hms)