Paskah 2012, saya bersama sahabat setelah merayakan Paskah mengadakan perjalanan ke Poso. Ketika hendak kembali ke Palu, ban mobil kami mengalami kebocoran. Dengan penuh kesabaran, kami mencoba mengganti ban yang bocor itu dengan ban serep. Hampir selesai mengganti ban, ternyata ban depan juga kena paku. Sial! Hari yang indah yang seharusnya kami pergunakan untuk silaturahim, malah kami gunakan untuk ganti ban-ban mobil dan kami baru tiba di Palu menjelang dini hari. Sial memang tidak mengenakkan.
Setiap orang dalam hidupnya berusaha untuk menghindari yang namanya sial. Orang Eropa takut dengan angka tradisi gugon tuhon angka 13. Di hotel-hotel tidak ada kamar no. 13. “Celaka Tigabelas!” Horoskop atau astrologi melarang orang yang ber-shio ini – itu bepergian dalam tahun Ular Air atau orang ber-zodiak ini – itu tidak boleh berpasangan dengan orang yang ber-zodiak ini – itu.
Menghindari sial!! Memang, ada daerah-daerah yang melihat bahwa kesialan itu bisa dibuang atau dihindari. Di Minahasa (Sulawesi Utara), sering ditemukan nama-nama seperti: Buang, Unggu maupun Busu. Diberi nama Buang karena waktu kecil anak itu sakit-sakitan. Kemudian oleh orang tuanya, nama itu dibuang (simbol) nama yang asli tidak diubah tetap seperti dalam akte kelahiran. Demikian pula Busu. Ada juga anak yang diganti dengan nama Unggu, karena ketika masih kecil kena sakit asma. Kemudian setelah besar, orang itu tidak sakit bahkan sudah memiliki tiga anak.
Di Jawa Tengah, ada seorang anak yang diberi nama hebat, misalnya: Raden Joko Wardoyo Kusumo Hardjo Prawiro. Tetapi seiring berjalannya waktu, anak ini sakit-sakitan. Oleh orang tuanya, dibuatlah upacara slametan dengan membuat nasi merah. Anak itu diganti dengan nama “Slamet”. Alhamdulilah, anak itu sehat walafiat. Orang Jawa juga percaya bahwa dalam peziarahan di dunia ini, kadang-kadang manusia hidup dalam noda atau sukerto. Misalnya, ada anak tunggal atau ontang-anting atau menjatuhkan periuk dan masih banyak lagi. Orang semacam itu harus di-ruwat, supaya bebas dari bencana.
Bethara Kala dari awan-awan akan mengintai orang-orang yang sukerto tersebut. Untuk mengusir bahaya itu keluarga nanggap wayang, sehingga Bethara Kala tidak akan mengganggu mereka yang sukerto. Kraton Ngayojakartohadiningrat memiliki tradisi yang hingga hari ini masih dilestarikan yaitu larung di Pantai Selatan – tempat bertahtanya Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Larung adalah menghilangkan sengkala atau dosa atau petaka. Makna lain, me-larung adalah menyempurnakan, membuat apa yang kita larung menjadi sempurna di hadapan Yang Maha Tinggi. Kita percaya bahwa tujuan dari tradisi itu baik adanya yakni menghindari sial dalam kehidupan.
Dalam tradisi Tionghoa ada istilah Jhi Sha. Jhi artinya mendoakan dan Sha artinya buruk, bencana, malapetaka dan jahat. Jhi Sha kadang-kadang disebut sebagai ciswak yakni ritual tolak bala atau buang sial. Inti dari ciswak adalah membuang energi yang buruk, karena kebiasaan buruk, pikiran yang buruk, seperti: iri hati, benci, penyesalan yang berkepanjangan, kesedihan yang berkepanjangan dan kemarahan.
Mengontemplasikan tradisi-tradisi di atas, kita boleh berkata bahwa hidup yang kita lakoni ini kadang tidak dapat diduga. Ada kalanya beruntung tetapi juga bisa buntung. Demien Dematra dalam Si Anak Panah, melukiskan Safii Maarif yang berkata, “Tidak ada yang pasti dalam hidup ini. Kita hana harus menjalaninya saja. Sebagaimana seharunya, sewajarnya, sebaik mungkin.” Orang Jawa mengatakan bahwa hidup ini bagaikan cakra-panggilingan yang mengandung arti: kadang naik – kadang turun (ups and downs) atau gilir-gumanti. Untuk itulah, kesialan dalam hidup ini harus kita jadikan “sahabat”.
Ada kisah-kisah yang menjadi kesialan sebagai “sahabat”. Daniel Defoe (1660 – 1713) – bernama asli: Daniel Foe dalam Robinson Crusoe (terbit 1719), melukiskan bagaimana seorang lelaki muda yang terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni. Hari berganti bulan dan bulan berganti tahun, Crusoe akhirnya menerima dengan ikhlas kesialan tersebut dan mulailah ia beraktivitas. Melalui pergaulannya dengan binatang-binatang, ia menemukan “bakat terpendam” dalam dirinya. Ia menikmati kesendiriannya dan peristiwa tersebut tidak dijadikan kesialan. There is blessing in disguise behind every disaster. Ada hikmah di balik bencana.
Kisah yang sama juga ditulis oleh Laura Inggalls – yang memiliki nama lengkap: Laura Elizabeth Inggals Wilder – ( 1867 – 1957) dalam Little House on the Prairie, mengisahkan Mery, kakaknya yang berkacamata itu mengalami musibah di tengah hutan. Berhari-hari Charles Inggals mencari anaknya. Mery terhuyung-huyung mencari pertolongan dan entah karena apa kacamatanya hilang. Tiba-tiba ia melihat sebuah kebakaran di hutan. Ternyata, kacamata Mery itu jatuh dan bagaikan surya kantha, yang mampu memokuskan sinar sang surya sehingga menjadi percikan api yang menimbulkan asap. Dari sanalah, sang ayah: Charles dapat menolongnya. There is blessing in disguise behind every disaster. Ada hikmah di balik bencana.
Kembali merenungkan masa-masa sial tersebut di atas, saya teringat bacaan Malam Paskah (yang saya rayakan di Palu) – setelah kami mengalami kesialan dengan ban mobil kami yang bocor – yaitu Felix culpa yang berarti: kesalahan yang membahagiakan. Ini ungkapan St. Paulus. Karena kesalahan satu orang yakni Adam, kita masuk dalam situasi dosa (Bdk. “Adam dan Kristus”: Rm. 5: 12 – 21). Tetapi kesalahan ini membawa kebahagiaan karena datangnya Sang Penebus, Redemptor (270113)
Oleh: Markus Marlon