Ketika menyaksikan film dengan judul The Three Kingdom atau Sam Kok (51 keping cakram), sering dalam setiap pertempuran, jika salah satu negara merasa terpojok dan mengarah kepada kekalahan, maka sang pemimpin berteriak, “Mundur!!” Kemudian kita akan berkata, “Pengecut! Banci!Tidak punya nyali!” Tunggu dulu dan jangan salah, mereka itu mundur bukan kalah, tetapi untuk menyusun langkah-langkah strategi dan mengevaluasi. Orang Jawa berkata, “Ngalah gedhe wekasane” – mengalah besar manfaatnya di kemudian hari (pada akhirnya).
Dalam minggu-minggu terakhir ini, media massa dan media elektronik disibukkan dengan komentar-komentar pada pidato pengunduran diri Paus Benediktus XVI (11 Februari 2013). Seolah-olah dunia terdiam sesaat dan merenungkan apa yang diucapkan Sri Paus. Semua orang tercengang seperti ketika Dewabrata mengucapkan janji wadat dan melakukan bhisma pratignya yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya. Petir menyambar persis di atas sungai Gangga. Dari situ pula, Dewabrata berganti nama menjadi Bisma yang berarti “Dia yang sumpahnya dahsyat”.
Orang yang meletakkan tahta tertinggi – apalagi yang menimbulkan decak kagum – akan membuat orang heran dan mungkin menyayangkan, “Mengapa tahta yang tertinggi di dunia koq diletakkan begitu saja?” Banyak orang yang tidak habis pikir. Namun, beberapa hari kemudian, muncul opini para tokoh dunia yang memuji sikap bijaksana dari Joseph Ratzinger ini.
Prof. Dr. Yong Ohoitimur MSC dalam Milis Pineleng (12 Februari 2013) menulis, “….Keputusan untuk mengundurkan diri sungguh bijaksana demi kepentingan Gereja. Ia mempertimbangkan kondisi fisik dan mentalnya, tetapi juga menyelidiki gerakan hatinya secara spiritual di hadapan Tuhan. Ia cerdas secara rasional, emosional dan spiritual. Discerment-nya luar biasa dan karena itu ia pantas menjadi teladan bagi setiap pemimpin atau orang yang memangku jabatan publik.”
Dalam dunia politik, perusahaan maupun agama, yang namanya jabatan atau kedudukan atau tahta kadang menjadi rebutan yang – terkadang pula – mengarah kepada kejahatan (intrik maupun konspirasi). Bahkan congkel-mencongkel atau memaksa pemimpin mundur dari tahta sudah menjadi konsumsi publik. Drama tragedi “King Lear” tulisan William Shakespeare (1564 – 1616) adalah salah satu contoh bagaimana sang raja yang sudah usia lanjut tidak mau turun dari tahta (lengser keprabon). Bahkan untuk menggenggam tahta, seorang raja memiliki prinsip, “lebih baik ditakuti daripada dicintai” (Bdk. Il Principe tulisan Niccolo Maciavelli: 1469 – 1527).
Tetapi kita tidak perlu berkecil hati, sebab di dunia ini masih banyak kisah-kisah indah yang “tidak haus” akan tahta yang bergelimangan emas dan kemasyuran. Remy Silado dalam Menggagas Ratu Adil menceriterakan tentang masa kecil Pangeran Diponegoro (1785 – 1855) Ketika ayahnya menjadi raja menggantikan Sultan Hamengkubuwono II, ia diminta menjadi adipati anom atau putra mahkota, tetapi ia menolaknya. Ia ingin menjadi pemimpin bagi perjuangan rakyat.
Sindhunata dalam Anak Bajang Menggiring Angin, mengisahkan tentang Bharata yang menolak naik tahta pada kerajaan Kosala karena bukan haknya (Bdk. Menghasut tulisan Markus-Marlon). Dan supaya tahta tidak kosong (sede vacante), terompah atau sepatu sandalnya Rama diletakkan di tahta Kosala. Bharata bersedia namun hanya sebagai simbol saja. Pearl S. Buck (1892 – 1972) dalam East Wind West Wind mengisahkan seorang putra bangsawan yang menolak mendapat warisan yang besar dan kedudukan tinggi dalam wangsanya, karena menikahi gadis Amerika (west). Kita juga bisa berpaling kepada Mahatma Gandhi (1869 – 1948) yang tidak mau dipilih menjadi presiden. Karena sayangnya rakyat India, hingga Gandhi disebut sebagai Bapa Bangsa atau mungkin negarawan.
Paus Benediktus XVI sadar bahwa tugas yang diembannya begitu berat di usia yang tidak muda lagi (85 tahun). Ia harus mengurusi umat Katolik seluruh dunia, tamu-tamu dari pelbagai kepentingan setiap harinya, surat-surat yang harus dibalas juga surat gembala, ensiklik-ensiklik, gagasan-gagasannya yang harus ditulis. Tentu saja bukan tugas yang ringan, meskipun dalam menjalankan pekerjaannya dibantu oleh curia romana (Bdk. Tom Grace dalam The Secret Cardinal).
Selain itu, seorang paus juga mengunjungi negara-negara untuk membangun perdamaian. Tidak heranlah dia juga mendapatkan gelar Pontifex Maximus (bhs. Latin, Ponticulus = jembatan dan facere = membuat). Orang yang membuat jembatan adalah digambarkan sebagai pribadi yang suka berdamai (inklusif) lawannya, membangun tembok (inklusif). Pontifex juga memiliki arti: pons dan facio dalam arti kuno = pandu atau pemimpin bangsa. Sekali lagi, tugas itu mahaberat.
Cyrus Shahrad dalam Rahasia-Rahasia Vatikan menulis, “….Hari-hari pertamanya sebagai Paus, meskipun banyak kritik – sepertinya dunia takut bahwa ia akan membawa kembali era Katolik konservatif yang telah diperbaharui – Ternyata, Benediktus tampil jauh lebih ramah dan lebih menarik dari yang diperkirakan” (hlm. 205). Paus Benediktus XVI ini sungguh disayangi. Kita jadi ingat akan Paus Yohanes XXIII (1881 – 1963) – nama aslinya Angelo Giusppe Roncalli – yang mendapat julukan “yang baik” yang tentunya amat disayangi umat manusia sejagad.
Saat dilantik menjadi Paus, ia berumur 77 tahun, maka sering dianggap sekadar Paus antara. Namun ternyata banyak mengejutkan Gereja Katolik dengan adanya Konsili Vatikan II yang menghasilkan reformasi dalam tubuh Gereja (Ecclesia semper reformanda) dan ditingkatkannya rekonsiliasi antarumat beragama.
“Lengser Keprabon madeg Pandito” – turun dari tahta untuk menggumuli hal-hal rohani, adalah kata yang tepat untuk seorang pemimpin yang dengan kehendak bebas (libero arbitrio) mengundurkan diri. Sang Paus berpidato, “Mengenai diri saya, saya akan tetap mempersembahkan diri saya untuk pelayanan Gereja Kudus di masa mendatang melaui kehidupan yang khusus didedikasikan untuk berdoa.”
Lengser-nya (turunnya tahta) di masa lingser ( senja), sudah pernah dikisahkan dalam akhir cerita Mahabaratha. Ketika Parikesit (cucu Pandawa) naik tahta, Para Pandawa menyepi ke hutan untuk menjadi pendeta atau brahmana. Dalam tempat yang sunyi dan sepi serta hening itu mereka berdoa. Akhirulalam, Paus Benediktus XVI, doakan kami! (150213)
Oleh: Markus-Marlon