Kalau hari minggu biasanya jalanan di sekitar pecinan (Kampung Cina Manado) agak sepi, namun hari ini Minggu 24 Februari 2013 kampung cina Manado di kepung oleh ribuan warga dari penjuru Sulawesi Utara untuk menyaksikan perayaan Cap Go Meh. Seperti yang disampaikan oleh Hengky Wijaya, Cap Go Meh selain merupakan ritual keagamaan dan kebudayaan, juga merupakan salah satu iven yang tujuannya untuk menarik wisatawan berkunjung ke Manado.
Dan memang seperti apa yang dikatakan oleh salah satu pengusaha papan atas Sulawesi Utara, perayaan Cap Go Meh tahun ini mampu menyedot ribuan wisatawan baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Selain mampu menarik minat wisatawan, acara yang diselenggarakan oleh umat Tridarma tahun ini menjadi sasaran para awak media baik cetak, televisi, radio maupun media online (lokal maupun nasional) terlebih para pecinta dunia fotografi yang datang meliput dan mengabadikan momen yang jarang terjadi di kota Manado.
Tak heran, untuk mengantisipasi kemacetan yang ditimbulkan akibat perayaan Cap Go Meh petugas keamanan menutup beberapa ruas jalan terlebih yang mengarah ke kawasan Klenteng Ban Hing Kiong, Manado. Warga Sulawesi Utara dan para wisatawan pun rela berdesak-desakan untuk menyaksikan perayaan Cap Go Meh ditengah teriknya sengatan matahari.
Saya sendiri sudah berada di kawasan pecinan sejak pukul 10.30. Sengaja saya datang lebih awal karena ingin menyaksikan dan ingin mengetahui lebih jauh tentang yang namanya Cap Go Meh. Ditemani salah satu wartawan papan atas Sulawesi Utara om Lexi Mantiri (begitu saya biasa menyapa beliau) sayapun mendapat banyak pengetahuan mengenai perayaan Cap Go Meh mulai dari ritual puasa yang dijalani oleh para Tang Sin, ritual goso peda, kunjungan ke klenteng-klenteng yang dilakukan oleh para Tang Sin dan berbagai prosesi lainnya.
Yang menarik perhatian saya begitu tiba di kawasan klenteng Ban Hing Kiong yaitu alunan musik bambu yang memainkan irama yang begitu merdu di sekitar klenteng. Sempat timbul pertanyaan dibenak saya, kenapa budaya Minahasa hadir ditengah perayaan yang lebih identik dengan etnis tionghoa? Tak berselang lama sayapun menemukan jawabannya.
Saat berbincang dengan bapak Sofyan Jimmy Yosadi, SH perayaan Cap Go Meh tahun ini tidak hanya dimeriahkan oleh musik bambu saja akan tetapi beberapa budaya yang lebih identik dengan suku Minahasa turut ditampilkan di festival yang diikuti oleh 8 klenteng yang ada di Kota Manado.
Menurut bapak Sofyan Jimmy Yosadi, SH yang juga merupakan ketua komunitas seniman budayawan tionghoa Sulut kehadiran budaya Minahasa ditengah-tengah perayaan Cap Go Meh menunjukan bahwa warga Tionghoa selalu membuka diri terhadap kebudayaan lain.
Dan yang paling menarik perhatian saya, barisan yang berada paling depan pada parade perayaan Cap Go Meh adalah tari Kabasaran yang nota bene lebih identik dengan masyarakat dari suku Minahasa. Dan pada barisan lainnya turut serta beberapa tumpukan musik bambu dan musik bia yang semuanya bercampur dengan warga etnis tionghoa yang mengenakan pakaian dan aksesoris khas masyarakat tionghoa.
Sungguh sebuah hal yang patut dijaga, dilestarikan dan WAJIB DITIRU oleh daerah lain yang ada di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebuah pertunjukan yang WAJIB DILESTARIKAN oleh warga Sulawesi Utara. Tak salah memang Provinsi Sulawesi Utara dikenal sebagai salah satu daerah paling aman di Indonesia. Semoga saja pada perayaan Cap Go Meh ditahun yang akan datang kejadian seperti ini bisa terulang kembali.