Pemindahan Patung Sam Ratulangi, Perlukah Melibatkan Publik ?
Oleh: Dr. Ir Dwight Moody Rondonuwu, ST, MT
(Tim Ahli Cagar Budaya Sulawesi Utara, Dosen Arsitektur Fakultas Teknik UNSRAT)
MANADO- Keputusan pemerintah Kota Manado memindahkan patung Dr. Sam Ratulangi dari Ranotana ke Bandara Sam Ratulangi memicu diskusi hangat di kalangan masyarakat. Sebagai simbol sejarah dan identitas lokal, patung ini tidak sekadar artefak fisik, tetapi menjadi bagian penting dari ingatan kolektif warga. Namun, langkah ini dilakukan tanpa konsultasi publik, sehingga mengundang pertanyaan: apakah masyarakat seharusnya dilibatkan dalam keputusan yang menyentuh warisan budaya bersama?
Dr. Sam Ratulangi, tokoh nasional yang dikenal dengan falsafah hidupnya, Sitou Timou Tumou Tou (Manusia hidup untuk memanusiakan orang lain), telah lama menjadi ikon yang melekat pada Kota Manado. Patung setinggi lima meter tersebut, yang didirikan pada tahun 1970, menempati lokasi strategis di perempatan Jalan Sam Ratulangi Kelurahan Ranotana sebagai monumen yang menggambarkan semangat perjuangan dan kebanggaan masyarakat. Pemindahannya ke Bandara Sam Ratulangi, meski bernama sama, dinilai mengaburkan nilai historis yang tersemat pada lokasi aslinya. Bandara lebih melambangkan modernitas ketimbang refleksi sejarah lokal.
Mengapa Pelibatan Publik Diperlukan?
Pelibatan publik dalam keputusan yang menyangkut warisan budaya adalah kunci bagi legitimasi kebijakan. Menurut teori ladder of participation oleh Sherry Arnstein, pelibatan ideal adalah yang menjadikan masyarakat sebagai mitra aktif dalam pengambilan keputusan. Pasal 50 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 juga menegaskan hak masyarakat untuk terlibat dalam proses perencanaan kebijakan.Minimnya konsultasi publik dalam kasus ini menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap prinsip inclusive governance. Melibatkan akademisi, sejarawan, komunitas budaya, dan masyarakat lokal bukan hanya sekadar langkah prosedural, tetapi juga cara memastikan kebijakan yang selaras dengan nilai-nilai dan harapan masyarakat. Dengan keterlibatan publik, keputusan tidak hanya memperoleh legitimasi sosial, tetapi juga meminimalkan potensi konflik dan kekecewaan. Patung, seperti yang dijelaskan oleh teori place attachment dari Scannell dan Gifford, memiliki makna emosional yang mendalam bagi masyarakat. Kehilangan simbol ikonis seperti patung Sam Ratulangi dapat memicu rasa kehilangan kolektif. Pelibatan publik akan membantu memperkuat rasa memiliki, yang pada akhirnya menjaga harmoni sosial.
Solusi Kompromi: Menghormati Sejarah dan Modernitas
Memindahkan patung Sam Ratulangi ke bandara memang dapat dimaknai sebagai upaya Pemerintah Kota Manado memperkenalkan sosok ini kepada khalayak yang lebih luas. Namun, alternatif yang lebih bijak adalah mengembalikan patung asli ke lokasi semula di Ranotana sambil memperbaiki dan mempercantik kawasan tersebut. Sementara itu, replika patung dapat ditempatkan di bandara. Langkah ini sejalan dengan konsep desain kota yang diutarakan Kevin Lynch dalam The Image of the City, yang menekankan pentingnya elemen visual seperti patung dalam memperkuat ingatan kolektif dan orientasi kota. Dengan solusi ini, pemerintah tidak hanya dapat menghormati nilai historis patung asli, tetapi juga memenuhi aspirasi untuk mempromosikan Dr. Sam Ratulangi di ruang modern. Langkah kompromi seperti ini menunjukkan keseimbangan antara pelestarian tradisi dan dorongan menuju modernitas.
Transparansi sebagai Wujud Penghormatan
Pemindahan patung tanpa keterlibatan masyarakat adalah cerminan pendekatan yang masih memandang warisan budaya sebagai aset material semata. Di era yang semakin mengutamakan transparansi dan partisipasi, kebijakan sepihak terasa seperti langkah mundur. Monumen seperti patung Sam Ratulangi tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga menjadi penghubung dengan identitas kolektif masyarakat saat ini.
Transparansi dan pelibatan publik bukanlah formalitas administratif, melainkan wujud penghormatan terhadap demokrasi. Tanpa itu, keputusan yang terlihat sederhana seperti pemindahan patung dapat menjadi simbol ketidakadilan bagi masyarakat yang merasa diabaikan.
Sebagai pelajaran untuk masa depan, mari jadikan peristiwa ini sebagai titik balik untuk lebih menghormati nilai-nilai lokal, identitas budaya, dan partisipasi masyarakat. Sebab, keputusan terkait warisan budaya tidak hanya menyentuh aspek fisik, tetapi juga jiwa dari sebuah komunitas. Semoga pemindahan ini tidak menjadi awal dari hilangnya makna historis, melainkan momentum untuk membangun kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.