
Walaupun sempat mengernyitkan dahi, akhirnya bisa juga normal kembali. Mendapat kiriman satu artikel yang bukan hanya karena bahasa asingnya yang ‘ododoe’ tapi bobot tulisannya juga yang memaksa pijat jidat.
Penulisnya seorang profesor di Harvard University, Jeffrey Frankel. How to Avoid a W-Shaped Reccesion, suatu artikel pada GUARDIAN, 01 Mei 2020. Sementara sang pengirim sendiri, saya segan mengungkapkannya. Figur yang pastilah sangat dikenal terlebih di lingkungan institusi besar yang dipimpinnya.
Dengan segala keterbatasan yang ada, saya hanya dapat menarik 2 (dua) hal simpel dari tulisan tersebut. Pertama, jangan mengulangi kesalahan sejarah. Kedua, jangan prematur atau tergesa-gesa dalam membuat kebijakan.
Alkisah, di tahun 1905 seorang bernama George Santayana dalam sindirannya mengatakan _”…Those who cannot remember the past are condemned to repeat it”_. Pas hampir seabad sindiran ini sebenarnya harus menjadi pengingat bagi mereka yang berkepentingan. Tentulah disini para pemimpin politik yang dimaksud.
Dalam kasus menghadapi dampak Covid-19 dimana potensi krisis atau resesi dunia diambang pintu, amatlah diperlukan extra kehati-hatian dalam setiap kata, tindakan bahkan rencana-rencana kebijakan. Catatan sejarah sebenarnya telah menunjukkan banyak peristiwa di bumi terjadi berulang. Entah itu bencana alam, wabah penyakit ataupun kondisi-kondisi buruk ekonomi yang tidak tertangani dengan baik atau mengalami keterlambatan pemulihan hanya karena manusia tidak belajar dari yang sebelumnya.
Covid-19 saat ini, telah menjelma bukan lagi sekedar wabah penyakit semata. Horor terjadinya kemandegan ekonomi dalam skala luas justru menjadi dimensi lain darinya.
Sebagai seorang praktisi perbankan, saat ini saya salut terhadap kebijakan nasional kita. Beberapa indikator ekonomi, yang saya takkan bahas disini, menunjukkan negara kita relatif lebih baik dibanding beberapa negara lain.
Dimulai dari tidak terburu-burunya pemerintah saat menetapkan status negara dalam menghadapi pandemi Covid-19. Walaupun tekanan dan godaan pemberlakuan #Lockdown oleh banyak pihak harus dihadapi pemerintah. Hal ini jamak diketahui oleh kita semua.
Bukannya bergeming, pemerintah justru secara cukup efektif mengeluarkan berbagai paket regulasi di berbagai bidang. Bahkan yang teranyar, kebijakan jaringan pengaman sosial.
Beberapa tindakan pemerintah yang dilakukan sebenarnya menggambarkan pemahaman yang komprehensif dalam bingkai kehati-hatian. Peluncuran stimulus ekonomi oleh otoritas keuangan apakah melalui Depkeu, BI ataupun OJK dinilai masih _on the track_.
Di lingkungan perbankan khususnya, kebijakan relaksasi bagi pelaku usaha sebagai tindaklanjut himbauan presiden relatif berjalan baik. Hal mana perlu diikuti dengan beberapa catatan mengingat sistem perbankan itu sangat vital.
Terhadap kebijakan stimulus ekonomi, situasi yang berkembang tentunya mengundang respon yang berbeda. Dengan struktur permodalan masing-masing bank menjadi sebagai faktor penentu. Sangat disadari, kebijakan relaksasi akan sangat berdampak pada _cashflow_ terkait berubahnya jadwal atau bahkan jumlah _interest income_ yang harus diterima bagi bank terkait.
Peluncuran stimulus ekonomi yang antara lain diterjemahkan dalam bentuk pemberian keringananan bagi pelaku usaha perlu dilaksanakan secara hati-hati. _Moral hazard_ debitur akan menjadi tantangan tersendiri bagi kalangan perbankan. Bukan perkara mudah dalam melakukan mitigasi terhadap risiko ini. Modus aji mumpung atau mengail di air keruh pasti akan banyak ditemukan.
Yang pasti, pemberian stimulus merupakan suatu prasyarat berputarnya mesin ekonomi dalam situasi seperti saat ini. Stimulus ekonomi ibarat obat penghilang rasa sakit yang mendesak diberikan. Oleh sebab itu maka sistem perbankan dituntut untuk dapat mengimplementasikan dengan baik. Kebijakan relaksasi secara tepat orang, tepat waktu dan tepat sasaran (bidang usaha) akan menjadi kunci sukses pemberian stimulus.
Sejauh ini, walaupun ekonomi bergerak lambat tetapi instrumen dan kebijakan yang dimanfaatkan pemerintah dinilai masih cukup efektif. Situasi mana berhasil menghindarkan negara dari ekonomi yang berpotensi terjun bebas. Sekalipun memang banyak dijumpai sektor usaha yang sangat terpukul. Bahkan, tidak sedikit yang kelak harus memutar ulang dari nol atau bahkan posisi minus.
Kembali ke awal tulisan, jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah) disini sebenarnya lebih merupakan suatu kesatuan dengan himbauan untuk tidak secara prematur dalam mengambil suatu keputusan. Dalam konteks perlawanan terhadap Covid-19, pemerintah telah berposisi secara tepat dari awalnya. Tidak terburu-buru. Inilah sebenarnya nilai strategis dari semua langkah pemerintah.
Kelak nantinya, disaat ada tanda-tanda pemulihan. Entah karena ditemukannya vaksin penawar, menurunnya korban secara signifikan oleh karena suatu hal atau apapun itu maka pemerintah harus tetap dalam sikap yang sama. Tidak terburu-buru. Dalam artian bahwa segala kebijakan yang mengarah pada pemberian stimulus yang telah berjalan dengan cukup efektif diperlukan kehati-hatian ketika akan mengakhirinya.
*Prof.Jeffrey Frankel* telah mencatat bahwa dari krisis yang pernah dialami dunia, _menghentikan stimulus ekonomi secara prematur akan sangat tidak bijaksana_. Dalam ukuran negeri ini, saya yakin Pak Jokowi tahu yang terbaik bagi bangsa ini. Semoga… Gbu Mr.President 😇