Bela Rasa, Oleh: Markus Marlon. Tahun 1999, saya pernah mengunjungi orang yang sedang sakit di Rumah Sakit Islam di Tegal. Sewaktu datang di Ruang VIP Alamanda, saya hanya diam membisu selama 30 menit dan setelah itu pamit pulang.
Tiga hari berikutnya, anaknya datang kepada saya dan mengucap terima kasih karena “kehadiran” saya selama ayahnya sakit ternyata membawa arti tersendiri. Bahkan tahun 2011 ketika saya berjumpa dengannya, dia masih berkata, “Terima kasih Romo atas bela rasa sewaktu saya sakit!” Hal yang amat sederhana: duduk diam dan hening, masih diingat walaupun sudah dua belas tahun berlalu.
Setiap orang tentu pernah mengalami sehati seperasaan dengan orang yang sedang sakit, berkesusahan, stress atau menderita. Mereka sementara terpuruk dan kebutuhan yang paling mendasar adalah ditemani. Penemanan dan kehadiran secara fisik sangat berguna. Itulah sebabnya, di rumah sakit-rumah sakit, dialokasikan waktu khusus bagi para pe-bezuk atau pengunjung.
Penemanan juga sangat dirasakan ketika salah satu anggota keluarga mengalami kesedihan yang mendalam karena memperjuangkan sesuatu. R.A. Kartini (1879 – 1904) dalam Habis Gelap Terbitlah Terang misalnya – menulis, “Bapak sayang akan saya dengan tiada hingganya, Bapak turut merasa, turut menderita rasa dan derita anaknya.” Atau seperti yang dibuat oleh Fransiskus Asisi (1181/1182 – 1226) yang menanggalkan pakaiannya dan mengembalikan kepada orang tuanya, ia ingin berbela rasa hidup sebagai orang miskin.
Ibu Teresa (1910 – 1997) meninggalkan komunitasnya untuk bekerja di antara orang-orang yang tengah menghadapi akhir hidupnya di Calcutta. Bela rasa terhadap para budak amat dirasakan oleh Harriet Beecher Stowe (1811 – 1896). Ir. Sukarno (1901 – 1970) dalam Sarinah menulis, “Dan tatkala Amerika tenggelam di dalam kekejiannya kezaliman memperbudak orang-orang Neger, tidakkah seseorang-orang wanita yang ikut membangkitkan rasa kemanusiaan bangsa yakni Harriet Stowe dengan bukunya yang termasyur Uncle Tom’s Cabin (terbit: 1852).”
Harriet Stowe melihat dan menyaksikan sendiri betapa keji perlakuan yang ditujukan kepada para budak tersebut. Apa yang ditulis itu dibaca oleh banyak orang dari lapisan dan golongan, suku dan bangsa yang akhirnya dikeluarkanlah procalamation of emancipation 1 Januari 1863 oleh Abraham Lincoln (1809 – 1865). Di sana juga barangkali ungkapan I have a dream dari Martin Luther King Jr (1926 – 1968) mendapatkan perwujudannya.
Dalam sejarah Islam, bela rasa dialami oleh Sang Nabi dan kaum Muslimin dari Mekkah yang telah berpindah (hijrah) ke Madinah setelah mengalami gangguan-gangguan dari orang-orang Quraisy yang kafir. Mereka ditolong oleh orang-orang yang berbelas kasih atau Al-Anshar. Di sini kita meyakini bahwa dalam setiap masa, ada orang-orang yang sungguh ingin membantu tanpa pamrih. Namun, manusia kadang tidak peka dengan orang-orang di sekitarnya yang menderita. Penginjil Matius pernah mengingatkan kita, “Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung” (Mat. 11: 17).
Bela rasa menurut Henri Nouwen (1932 – 1996) dilihat sebagai pengalaman kebersamaan dalam penderitaan atau sehati seperasaan. Sekarang kita sudah menemukan beberapa kata yang hampir sama: bela rasa, sehati seperasaan dan belas kasih. Dari sana kita mengintip kata compassion. Kata compassion berasal dari dua kata Latin pati dan cum yang berarti menderita bersama. Henri Nouwen dalam Sehati Seperasaan menulis, “Belas kasih (compassion) menuntut kita untuk pergi ke tempat di mana ada luka, masuk ke tempat-tempat di mana ada penderitaan, ikut serta dalam keterpecahan, ketakutan, kebingungan dan kecemasan. Ini adalah pengalaman manusiawi yang “sangat dekat” dengan kehidupan kita.
Membaca novel Di bawah Lindungan Ka’bah tulisan Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA (1908 – 1981), orang bisa meneteskan air mata kesedihan. Tidak berlebihanlah bila Ajip Rodisi dalam Cerita Pendek Indonesia menyebut HAMKA sebagai Pujangga Airmata. Nonton film yang berjudul Anne Frank (1929 – 1945), orang bisa tidak tahan penderitaan yang dialami si gadis Yahudi itu yakni penulis buku The Diary of Anne Frank. Mungkin juga orang menangis sesenggukan tatkala membaca novel tulisan Marga. T dengan judul Badai Pasti Berlalu. Orang terhanyut sehati seperasaan bersama Fransiska yang telah mengalami kepahitan asmara bersama Kris, Leo dan Helmy. Menyedihkan dan mengharukan!
Sebenarnya di sekitar kita ada banyak sekali orang-orang yang membutuhkan pertolongan kita. Mereka hidup dalam penderitaan, yang dalam bahasa Emmanuel Levinas (1906 – 1995) sebagai ephifani wajah. Orang lain atau wajah itu adalah janda, yatim piatu dan orang asing, maka kita dituntut untuk memberi mereka tumpangan (Bdk. Seri Buku Vox: seri 36/2 – 3 1991, hlm. 35). Saat kita melihat wajah mereka, yang ada adalah bagaimana kita meringankan penderitaan hidup mereka yang berbeban berat. Yesus sendiri pernah bersabda, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25: 40).