It’s Time for Truth on Social Media. Demikian judul dari sebuah artikel di mashable.com. Emily Banks menulis: “Jika ibu Anda mengatakan dia mencintai Anda, periksa kebenarannya.” Saya mendengar peribahasa itu waktu saya baru memulai karir jurnalis saya. Reporter dilatih untuk memferifikasi informasi yang mereka terima dengan mengkonfirmasi informasi tersebut dengan sumber yang dapat dipercaya, tapi tatanan media saat ini telah jauh berubah, bahkan sejak pertama kali saya mendengar peribahasa itu.
Dengan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, berita mengalir dengan sangat cepat. Dan berita sudah tidak lagi dikendalikan secara terpusat, membuat berita itu semakin kurang dapat dipercaya. Para reporter memiliki akses lebih untuk informasi melalui sosial media, tapi bukan hanya jurnalis saja yang menjadi penyebar/penyampai informasi. Kekuatan informasi saat ini bukan lagi milik pers, tapi sudah terbagi dengan orang-orang biasa (bukan jurnalis-Red), itu berarti Anda.
Di laman Neiman Report Harvard, Mark Little, pendiri dan CEO dari social news agency storyful, menulis:
Berita Lainnya
Beberapa waktu yang lalu (tidak terlalu lama), para jurnalis adalah penjaga fakta yang sulit (langka) dicari, untuk disampaikan pada waktu yang telah ditentukan untuk disampaikan kepada khalayak (masyarakat pembaca berita-red) pasif. Hari ini kita (jurnalis) telah menjadi manejer dari melimpahnya informasi dan konten, ditemukan, diverifikasi dan disampaikan dalam kemitraan dengan masyarakat yang aktif.
Setiap pribadi atau organisasi media dengan cepat bisa mengirimkan sepenggal berita melalui laman internet (website-red). Ini membuat media menjadi lebih kompetitif – di era media cetak, setiap media selalu mau menjadi yang pertama (dan akurat). Tapi sosial media dan kecepatan berita (media-red) digital telah menaikan taruhannya.
Kita telah melihat permainan ini sepanjang minggu, menyusul pengeboman di kota Boston. Sebagai contoh, laporan dari sumber berita terpercaya kepada pengguna Twitter individu yang secara tidak akurat menyampaikan bahwa pemerintah telah menahan tersangka dalam tahanan.
KETIDAK PERCAYAAN DI MEDIA
Ilmuan politik dari Georgetown Jonathan Ladd menasihatkan bahwa kebangkitan media internet dan siaran berbayar (tv cable) dan kemudian menimbulkan penggolongan dan fragmentasi di media, telah mengakibatkan hilangnya percayaan kepada media itu sendiri. Jonathan menulis dalam laman blog nya, “Akibat perubahan teknologi, seperti bangkitnya media televisi kabel dan internet, juga perubahan-perubahan regulasi, seperti mulai memudarnya asas keadilan, industri media (berita-Red) telah menjadi sangat beragam dan terfragmentasi.
Dia benar. Tapi saya (Emily Banks) akan mengambil satu langkah lebih lanjut untuk menyertakan, khususnya, mengenai efek sosial media pada pengkonsumsian berita yang terfragmentasi.
Informasi saat ini tidak lagi menjadi monopoli dari jurnalis dan organisasi pemberitaan resmi saja. Para pencari berita (konsumen-red) sekarang sudah mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk bisa mengumpulkan informasi, langsung dari sumber utama informasi tersebut.
AKSES UNTUK SUMBER UTAMA
Seperti yang kita lihat waktu kejadian pengeboman di Boston hari Jumat pekan lalu, bagaimana warga Boston dan para reporter saling berbagi informasi di jejaring sosial media tentang perburuan si tersangka pengeboman. Di jejaring sosial mereka berbagi real-time foto, video dan informasi mengenai keadaan yang mereka saksikan.
Ada juga yang membagikan informasi, yang mereka dapatkan (sadap-red) dari frekuensi percakapan polisi. Satu dekade yang lalu, peralatan untuk mendengarkan percakapan radio polisi (police scanners) tersebut sangat mahal harganya, dan hanya digunakan untuk kalangan terbatas seperti para jurnalis.
Saat ini, Semuanya bisa Anda dapatkan melalui sebuah telepon pintar (smart phone). Aplikasi seperti Radio Police Scanner 5-0, itu akan membuat Anda bisa mencari frekwensi percakapan polisi (police scanners) di seluruh dunia, itu akan menyampaikan/mengantarkan segala macam aktivitas kejahatan dan informasi kepolisian langsung kepada Anda di manapun Anda berada, selama terhubung dalam jaringan komunikasi data tentunya.
Mengikuti perkembangan pengeboman Boston, Emily Banks menggunakan Radio Police Scanner 5-0 di iPhone-nya untuk mengakses informasi dari Boston. Tapi Emily menyadari bahwa mungkin apa yang dipercakapkan para polisi itu tidak semuanya fakta dan akurat. “Jika saya tidak bisa memverifikasi informasi yang saya dengar tersebut, maka saya tidak akan memberitakan itu.” Emily Banks.
Masyarakat awam mungkin tidak menjalankan filterisasi informasi seperti itu. Dan informasi yang tidak terverifikasi kebenarannya itu bisa terpublikasi di media twitter atau facebook, dan kemudian para awak media (reporter) yang berada di tempat lain mengambil informasi tersebut, dan kemudian mempublikasikan informasi yang (mungkin) tidak faktual.
KETIDAKAKURATAN MENYEBAR
Dalam buku ‘Trust Me, I’m Lying‘ – Ryan Holiday menulis tentang bahaya dari model penyampaian yang bersifat eksploitatif dari para blogger dan pengguna jejaring sosial seperti twitter dan facebook. Hal itu bisa menyebar dengan sangat cepat seperti api liar dari kebakaran hutan. Itulah model yang terlihat pada peristiwa pengeboman di Boston.
“Semakin cepat sifat media penerbitan mereka (blog, kemudian koran, kemudian majalah), semakin banyak wartawan akan tergantung pada sumber-sumber online samar, seperti sosial media untuk penelitian,” – ‘Trust Me, I’m Lying‘ Ryan Holiday.
Proses ini bergantung pada “delegasi kepercayaan:” memberitakan tentang apa yang sedang disampaikan orang lain. Belum terlalu lama ini publik Amerika digegerkan dengan berita dari NPR (sebuah stasiun radio kenamaan yang bermarkas di Washington, D.C.), yang memberitakan bahwa seorang anggota konggres dari Arizona Gabrielle Giffords, telah ditembak mati. Berita itu telah di tweet dan jumlah follower dari akun NPR di twitter ada lebih dari dua juta follower. Tentu saja berita itu begitu cepat menyebar, dan ternyata Gabrielle Giffords tidak apa-apa, dan tidak mati. NPR membuat kesalahan dengan membuat berita yang tidak diverifikasi kebenarannya, dan kemudian mempublikasikan berita tersebut melalui twitter.
Ketika laman media terpercaya atau twitter mempublikasikan sesuatu, kita berasumsi kalau mereka (media/perorangan yang menjadi sumber informasi) telah melaksanakan tanggung jawab mereka untuk memverifikasi informasi tersebut, dan didukung dengan reputasi mereka maka berita yang mereka sampaikan, bisa kita beritakan lagi sebagai suatu kebenaran (fakta). Tidak selalu demikian.
LEBIH BANYAK AKSES AKAN LEBIH BAIK
Namun, beberapa media profesional merasa lebih optimis dan percaya bahwa sosial media dapat membantu memverifikasi informasi dan sumber. Kita bisa mengikuti jejak digital dari para pengguna sosial media.
Dalam bukunya ‘Hacking the Future,‘ Cole Stryker menulis,
“Bertentangan dengan kebijaksanaan konvensional, yang benar-benar memiliki lebih banyak akses ke bukti dengan media sosial daripada sumber off-line tradisional.”
Dalam beberapa kasus, mungkin ini adalah hal yang baik. Tapi tidak dalam peristiwa minggu lalu, itu merupakan sebuah “bukti” keterburuan mengakibatkan pemberitaan yang tidak akurat dan tuduhan tergesa-gesa. Seperti yang dipublikasikan Redditor (sebuah social news website) mereka mempublikasikan foto yang katanya foto dari tersangka pengeboman, dan ternyata bukan.
DIBUTUHKAN VERIFIKASI
Informasi yang tidak terfilter, tanpa konteks dan verifikasi — biasanya pekerjaan jurnalis — bisa sangat berbahaya,
“Ketika muda, saya seorang jurnalis televisi yang mengartikan ungkapan ‘golden hour‘ adalah ketika cahaya matahari sore memaparkan sinarnya, menghangatkan alam dan wajah saya. Setelah menjadi seorang jurnalis sosial, saya mulai mengartikan istilah ‘golden hour‘ dengan arti yang berbeda. Sekarang saya berpikir bahwa ‘golden hour‘ adalah waktu dimana saya mulai memasuki dunia jejaring sosial dan mulai membuat, entah memperkuat pemberitaan yang benar (fakta) atau menyebarkan kebohongan belaka, ketika kematian seorang selebriti menjadi trending topic di twitter, atau sebuah video surface (video berita/pernyataan yang baru disampaikan oleh sekelompok atau seseorang, cth: video penyanderaan-Red) yang banyak dilihat di youtube.” Mark Little – pendiri sosial media storyful.com
Menurut Mark Little dan BBC, seorang jurnalis harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini ketika mereka akan memverifikasi kebenaran dibalik semua konten yang dibuat oleh para pengguna sosial media.
- Dapatkah Anda bebicara langsung dengan sumber materi berita itu?
- Dapatkah Anda menemukan lokasi asal dari foto atau video tersebut? Dapatkah Anda mencocokan lokasi tersebut di Google Map?
- Apakah foto jalan mirip dengan foto-foto yang ada di Panoramio atau Google Steet View?
- Apakah cuaca di foto/video cocok dengan laporan cuaca di tempat itu pada hari itu (ketika foto/video direkam)?
- Apakah waktu yang ada di foto/video tersebut cocok sama dengan bayangan (dari objek foto/video) yang seharusnya tepat dengan waktu itu?
- Apakah tanda rambu lalulintas, dan plat nomor kendaraan yang terekam dalam video atau foto tersebut, sama dengan rambu lalulintas, dan plat nomor kendaraan di wilayah dimana foto atau video itu diambil?
- Apakah rekaman itu kelihatan mirip dengan rekaman foto atau video yang telah diunggah oleh pengguna lain dari wilayah itu?
- Apakah rekaman itu terlihat “too good to be true“?
- Kapan materi itu terlihat pertama kali di internet?
Dengan memanfaatkan sumber daya teknologi, pengetahuan dan komunitas sejarah yang ada, wartawan dan individu dapat berusaha untuk memverifikasi keaslian konten yang dibuat oleh pengguna sosial media.
PERAN KURATOR
Kurang lebih dua tahun lalu, pendiri Storify (storify.com) Burt Herman menulis untuk The New York Times: “Sebuah kelas baru penjaga gerbang telah hadir, orang-orang yang reputasinya dibangun pada kemampuan mereka untuk menyoroti informasi yang relevan dengan audiens mereka. Kami masih mencari kata sebutan yang pas bagi penjaga-penjaga gerbang ini, tapi sebutan ‘kurator’ adalah yang paling pas dan layak untuk saat ini.”
Apakah layak untuk mengatakan, saat ini, semua pengguna sosial media harus menjadi kurator bagi diri mereka sendiri — menerima, memverifikasi, dan kemudian menyebarkan apa yang akurat dan relevan — sebab saat ini semakin banyak informasi yang dengan mudah tersedia bagi kita.
Emily Banks: “Saya percaya kita masih bisa menaruh kepercayaan kepada lembaga-lembaga (pemberitaan) untuk memberitakan kebenaran” — setiap saat. Tetap, kita harus menjadi konsumen media yang bijak, dengan selalu mengingat bahwa, bahkan lembaga yang terpercaya sekalipun bisa menyampaikan pemberitaan yang salah. Dan sebagai seorang jurnalis, ada banyak sisi dari sebuah kisah, demikian juga kebenaran kisah itu. Kita harus memberdayakan teknologi yang kita miliki untuk menentukan mana yang akurat, dan semua pengguna media sosial, termasuk kurator konten dan pencipta konten, harus ingat: “Jika ibu Anda mengatakan dia mencintai Anda, periksa kebenarannya.”
*Ilustrasi: blogs-images.forbes.com
Zaman semakin maju keterbukaan arus infomasi menuntut kita untuk bisa berpikir kritis setiap info yang masuk.
Salam Kenal
Jangan asal percaya info yang kita terima. Jaman semakin canggih dengan segala tekhnologinya. Kita diharuskan kritis dengan info yang masuk kepada kita. Artikel yang sangat menarik…