Oleh: Ventje Jacob / Pengamat Sosial Kemasyarakatan.
Kisruh politik merupakan fenomena paling menonjol saat bangsa kita memasuki gerbang reformasi di tahun 1998. Kekisruhan politik paling tidak amat sangat menggangu kehidupan bangsa kita Indonesia, dan yang paling berdampak dari kegaduhan politik ini adalah penyelenggaraan negara kita sendiri.
Berita Lainnya
Sepertinya para elite politik kita tidak dan belum memahami bahwa; “Politik adalah pengabdian dan kerja untuk mengsejahterakan rakyat dan bukan belomba merebut kekuasaan dan berlomba memperkaya diri.
Partai politik hendaknya memelihara kestabilan politik baik di internal partai maupun diluar partai. Tugas utama Parpol adalah menghasilkan kebijakan positif dan diberikan kepada pemerintah dalam menjalankan roda pembangunan, bukan memberikan pekerjaan tambahan yang memperberat tugas dan tanggung jawab pemerintah.
Namun, sejak tahun 1998 sampai sekarang, kekisruhan politik menyangkut internal parpol terus dan terus terjadi, dan tidak pernah mereda, tetapi terus berlanjut dengan gejala kian meningkat. Kegaduhan politik ini jelas mengganggu konsolidasi politik dan demokrasi, serta merupakan salah satu prasyarat politik penting bagi pemerintah untuk bisa bekerja dengan baik. Kekisruhan politik terjadi pada beberapa tingkatan, mulai dari internal parpol hingga koalisi Partai Politik.
Berkaca di periode pertama pemerintahan Joko Widodo, Koalisi Merah Putih (KMP) yang berhadapan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kegaduhan politik pada kedua ranah politik itu pada gilirannya juga berimbas pada level pemerintahan.
Berikut ini konflik internal partai politik yang pernah terjadi sehingga terjadilah dualisme kepemimpinan yang berakhir di meja pengadilan adalah:
1. Golkar
Partai berlambang pohon beringin ini sudah beberapa kali dihantam konflik internal sejak era reformasi. Perpecahan itu kemudian menelurkan partai-partai baru. Pada 1998, dua partai politik baru terbentuk pasca munas, yakni Partai Karya Peduli Bangsa dan Partai Keadilan dan Persatuan–kini menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
Pasca Munas Golkar 2004, dari rahim Golkar lahir dua partai politik, yakni Partai Gerakan Indonesia Raya yang dibentuk Prabowo Subianto dan Partai Hati Nurani Rakyat bentukan Wiranto.
Adapun pasca Munas Golkar 2009 terbentuk organisasi massa Nasional Demokrat, yang kini menjelma menjadi Partai NasDem. Partai ini dibentuk Surya Paloh.
Pada 2014, perpecahan di tubuh Golkar melahirkan dua kubu. Kubu pertama adalah pimpinan Aburizal Bakrie yang terpilih dari Munas di Nusa Dua, Bali, dan pimpinan Agung Laksono dari hasil Munas Jakarta. Konflik di partai berlambang pohon beringin itu dipicu oleh penetapan jadwal munas yang dianggap tidak demokratis.
2. PPP
Partai berlambang Kabah ini dirundung persoalan internal pada 2014. PPP kubu Muktamar Jakarta memilih Djan Faridz sebagai ketua umum, sedangkan Muktamar Surabaya memenangkan Romahurmuziy.
Djan Faridz menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Menang hingga tingkat kasasi, Djan kalah di peninjauan kembali. Perpecahan berlanjut. Pada 2018, Djan mundur dari jabatan Ketua Umum PPP Muktamar Jakarta dan digantikan Humphrey Djemat.
3. PKB
Konflik internal PKB tak terlepas dari perseteruan antara Presiden keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan keponakannya, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.
Pada 2007-2008, Cak Imin yang saat itu menjabat Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB berseteru dengan Gus Dur sebagai Dewan Syuro PKB. Gus Dur memecat Cak Imin sebagai Ketua Umum PKB. Keputusan pemecatan Cak Imin dari Ketua Umum PKB kala itu melalui rapat pleno Dewan Syuro dan Dewan Tanfidz PKB.
Cak Imin tak terima dengan pemecatan ini. Ia menggelar Musyawarah Luar Biasa di Hotel Mercure Ancol. Acara ini digelar sehari setelah kubu Gus Dur menggelar Musyawarah Luar Biasa pada 30 April-1 Mei 2008 di Parung, Bogor.
Dalam kepengurusan hasil MLB Ancol itu, posisi Gus Dur dilengserkan dan digantikan Aziz Mansyur. Konflik ini berlanjut ke pengadilan. Belakangan pemerintah kala itu mengesahkan kepengurusan Cak Imin.
4. Hanura
Partai sempalan Golkar ini juga dirundung konflik internal. Konflik pertama melahirkan dualisme kepemimpinan antara kubu Oesman Sapta Odang (Oso) dengan Daryatmo.
Konflik Hanura memanas setelah Ketua Umum Oesman Sapta Odang dipecat oleh Hanura kubu Sekretaris Jenderal Sarifuddin Sudding. Keputusan ini diambil melalui Musyawarah Nasional Luar Biasa yang melibatkan 27 Dewan Pimpinan Daerah dan 401 Dewan Pimpinan Cabang. Munaslub diklaim mendapat restu dari Wiranto.
Perseteruan kemudian berlanjut dan terjadi antara Oso dan Wiranto. Kubu Wiranto menolak mengakui OSO sebagai Ketua Umum Hanura yang terpilih secara aklamasi dalam Musyawarah Nasional Hanura III, 18 Desember 2019. Namun akhirnya Wiranto pun memutuskan mundur sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat) karena ingin fokus pada tugas baru sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.
5. Partai Berkarya
Meski baru lahir, partai besutan anak Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, ini juga dihadapkan dengan perpecahan. Konflik ini melahirkan kubu Tommy dan Muchdi Pr.
Kubu Muchdi Pr menggelar musyawarah nasional luar biasa pada 11-12 Juli 2020 di Jakarta. Dalam forum itu ia didapuk sebagai ketua umum. Tak berselang lama, Kementerian Hukum dan HAM menerbitkan surat keputusan Nomor M.HH-17.AH.11.01 Tahun 2020 yang mengesahkan kepengurusan Muchdi Pr.
Tommy pun menggugat keputusan Yasonna. Hasilnya, pada 17 Februari 2021, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan Tommy atas kepengurusan Partai Berkarya.
PARTAI DEMOKRAT:
Kisruh Partai Demokrat sudah mulai terjadi pada tahun 2015. Partai yang didirikan oleh putra Minahasa alm. Ventje Rumangkang dan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang didaulat sebagai Ketum Partai berencana menyelenggarakan kongres pada Mei 2015 ini mulai terbelah antara kubu yang ingin Yudhoyono tetap menjadi ketua umum dan kubu Forum Komunikasi dan Deklarasi Partai Demokrat yang menolak Yudhoyono kembali memimpin partai.
Memasuki tahun 2021 ini Kepengurusan Partai Demokrat terbelah setelah beberapa kader senior mengadakan kongres luar biasa atau KLB di Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat, 5 Maret 2021.
Dalam KLB ini, muncul nama Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sebagai ketua umum. KLB itu juga menyatakan Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono telah demisioner.
KLB ini jelas tidak sah, ada yang mengatakan bodong, ada yang mengatakan abal-abal, yang jelas terminologinya ilegal dan inkonstitusional karena KLB tersebut tidak memiliki dasar hukum partai yang sah.
Pada intinya penulis menyimpulkan bahwa konflik di internal parpol sekarang ini diakibatkan kurangnya komunikasi politik di internal partai sehingga tidak mampu membangun soliditas partai, dan disisi lain partai politik hanya dijadikan alat untuk merebut kekuasaan sekaligus memperkaya diri.