MINAHASA – Konflik pertanahan dalam sejarah bangsa kita terus menyeruak di negeri agraris ini. Kali ini ratusan petani yang ada di wilayah perkebunan Kelelondey Langowan Barat yang telah lama mengolah lahan tersebut jauh sebelum jaman kolonial Belanda mengalami tindakan kesewenang-wenangan aparat negara.
Salah satunya tokoh masyarakat Langowan Donny Rumagit yang menuliskan kekesalannya mewakili jeritan petani di media sosialnya. Berikut petikan status medsosnya.
Ratusan petani ini tersakiti dan terluka ketika para oknum aparat TNI dengan semboyan “Lahir dari rakyat, berjuang bersama rakyat karena rakyat adalah ibu kandung TNI, meratakan tanaman milik petani berupa pohon mahoni, cempaka yang sudah puluhan tahun ditanam dan dirawat, lahan yang telah diolah dan siap ditanam dengan menggunakan alat berat. Kabarnya sekitar 20 hektar tanah milik negara ini akan dibangun fasilitas latihan TNI.
Berdasarkan penuturan dari para orang tua yang ada di kelelondey, masyarakat mulai menguasai lahan kebun Kelelondey jauh sebelum kolonial Belanda menjajah Indonesia. Kemudian di awal tahun 1900an Belanda mulai menduduki tanah warga, dengan hak erfpach berupa kebun kopi dan kapas. Perkebunan ini kemudian diteruskan saat peralihan kekuasaan di era penjajahan jepang dari tahun 1942 sampai 1945.
Warga kemudian kembali mendapat keleluasaan menguasai kebun Kelelondey sejak Indonesia merdeka. Hingga ditahun 1961, lahan kebun Kelelondey seluas sekitar 350 ha diserahkan oleh pemerintah pusat kepada masyarakat di 4 desa tersebut, dan pada tahun 1968 diadakan pengukuran lahan atas kebun Kelelondey.
Sampai pada tahun 1984, terbit sertifikat hak milik beberapa warga petani di atas lahan kebun Kelelondey.
Pada tahun 1978, TNI mulai mengadakan Latihan militer di kebun Kelelondey berbekal pemberitahuan kepada pemerintah desa. Warga petani pun merelakan kebun mereka diadakan Latihan militer walaupun berakibat pada rusaknya tanaman bawang, rica, tomat dan jagung milik warga.
Mulanya, Latihan militer dari TNI diterima baik oleh para petani di kebun Kelelondey.
Hingga tahun 2018, TNI mulai melakukan klaim sepihak dengan meratakan tanah milik warga untuk keperluan Latihan militer. Petani yang mengusahakan kebun pun tak berdaya menghadapi aparat militer dan bahkan menjual beberapa pohon lainnya karena terintimidasi dengan pernyataan TNI bahwa lahan Kelelondey adalah tanah pemerintah.
Kemudian pada bulan Januari 2020, TNI menancapkan plang tanda Dodik Belneg atas lahan bersertifikat hak milik seorang warga dengan alasan bahwa tanah tersebut adalah lahan tidur. Padahal baru sebulan sebelumnya diadakan panen jagung atas lahan tersebut. Lebih lagi, TNI menancapkan 5 plang tanda Dodik dan Secata di atas 5 lahan lainnya.
Bahkan, pada tanggal 13 April 2020, TNI kembali menggunakan alat berat meratakan tanah yang dikuasai 5 orang warga yang mana memiliki sertifikat hak milik. Pada saat penggusuran, seorang warga berinisial MP, berusia 86, memohon kepada aparat untuk membiarkan lahan sempit seluas 1 waleleng atau 350 m2 agar dapat ditanami olehnya, tetapi ditolak aparat TNI.
Bagi kami sebagian warga langowan, rencana TNI untuk membangun fasilitas di perkebunan kelelondey harus ditolak, karena dampaknya sangat luas karena mengancam sekitar 1400 jiwa yang menggantungkan nasibnya sebagai petani dan kedua perkebunan kelelondey adalah daerah resapan air apabila ada bangunan maka pada musim hujan bisa terjadi bencana banjir bukan dimasyarakat sekitar tapi seantero langowan dan sekitarnya.
Saya mengajak kepada seluruh rakyat yang peduli terhadap nasib petani untuk sama sama kita berjuang melawan tindakan sewenang wenang aparat TNI dan kita selamatkan lingkungan dari ancaman bencana.
Saya mengajak juga wakil rakyat dan pemerintah untuk sama sama menolak
Bangkit Melawan atau tunduk tertindas
Saya Bersama Petani
Selamatkan Lingkungan.