MANADO – Langkah Hebat pertama untuk dunia kesehatan terjadi kemarin di Sulut. Pertama Kali di Sulawesi Utara, RSUP Prof Kandou Gelar Baloon Mitral Valvuloplasty. Baloon Mitral Valvuloplasty (BMV) adalah suatu tindakan minimal invasif untuk memperlebar penyempitan katup mitral menggunakan balon.
Kegiatan ini dilaksanakan Pusat Jantung Terpadu RSUP Prof Dr RD Kandou Manado di dorong untuk memberikan tindakan cepat kepada pasien penyempitan katup mitral secara cepat. Pasalnya, penanganan penyakit hanya dilakukan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta, namun banyak pasien dengan daftar tunggu. Olehnya, RSUP Prof RD Kandou Manado bekerjaaama dengan RS Jantung Bina Waluya Jakarta menyelenggarakan kegiatan ini selama dua hari.
Dimana, katup mitral merupakan katup yang menghubungkan bilik kiri dengan serambi kiri pada jantung, sehingga darah akan berjalan satu arah dari bilik kiri ke serambi kiri kemudian ke seluruh tubuh. BMV pertama kali di Sulawesi Utara dilakukan tim dokter pada Pusat Jantung Terpadu Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof dr RD Kandou Manado, Jumat (21/07).
Kegiatan ini berlangsung hingga Sabtu (22/07). Kegiatan yang melibatkan dokter spesialis jantung yakni Dr dr Muhammad Munawar SpJP(K), dr Janry Pangemanan SpJP(K), dr A Lucia Panda SpPD SpJP(K), Prof Dr dr Reggy Lefrand SpJP(K), Prof Dr dr Starry H Rampengan SpJP(K), dr Hendrik Abraham SpAn, serta mewakili Direksi RSUP Prof Kandou Manado Dr dr E David Kaunang SpA(KJ).
Terungkap, penyempitan dari katup mitral akan menyebabkan darah terkumpul dibilik kiri pada waktu yang lama, sehingga menyebabkan pembesaran bilik kiri. Penyempitan katup mitral masih tergolong masalah besar di negara berkembang seperti Indonesia.
“Penyebab tertinggi dari penyempitan katup mitral adalah demam rematik, meski insiden dan tingkat keparahan mitral stenosis sudah jauh menurun di negara-negara maju,”jelas dr Reggy Lefrand, salah seorang dokter yang terlibat dalam kegiatan BMV.
Di negara berkembang dan padat seperti Indonesia, insiden demam rematik relatif konstan, belum terlihat adanya penurunan yakni 10 kali lebih banyak dibanding negara maju. Bahkan progresivitas penyakit ini jauh lebih rendah di negara berkembang, mengingat rendahnya tingkat kesehatan dan minimnya kesadaran masyarakat.