
~~ Materi disampaikan pada Program Baku Bekeng Pande oleh Bawaslu Sulut~~ Rabu 3 Juni 2020.
MANADO – Pemerintah, DPR dan Penyelenggara Pemilu menyepakati tahapan Pilkada dimulai pada 15 Juni 2020. Penetapan itu diambil sebelum pencabutan keputusan Presiden (kepres) nomor 12 tahun 2020 tentang bencana nasional terkait covid-19. Padahal 4 tahapan Pilkada yang tertunda didasarkan pada kepres itu.
Jika tahapan sudah harus dimulai minggu depan maka ada dua masalah besar yang berpotensi bisa terjadi yakni ancaman keselamatan petugas dan masyarakat serta potensi kualitas tahapan Pilkada yang buruk.
Berita Lainnya
Beberapa negara melaksanakan pemilu yang dijadikan rujukan Pemerintah ternyata yang dilakukan oleh negara-negara itu adalah pemilu nasional. Korea Selatan misalnya, pemilu yang dilaksanakan baru-baru ini adalah untuk memilih DPR. Pemilu harus dilakukan negara itu karena mencegah agar tidak terjadi kekosongan DPR. Negara itu mengalami krisis keuangan akibat covid-19. Sehingga Pemerintah tidak bisa merumuskan kebijakan penyesuaian anggaran tanpa keterlibatan DPR.
Pilkada di Indonesia hanya untuk memilih kepala deerah. Sistem pemerintahan kita bukan berbentuk federal namun dalam bentuk negara kesatuan. Jika terjadi kekosongan jabatan kepala daerah, maka mustahil akan terjadi kekosongan kekuasaan. Sebab daerah baik Provinsi maupun kabupaten/Kota merupakan sub bagian atau sub ordinat dari pemerintahan.
Ada kewenangan dari Pemerintah pusat untuk mengisi sementara jabatan kepala daerah yang kosong akibat masa jabatan berakhir sebelum digelar Pilkada.
Permendagri 74/2016 tidak mendikotomikan kewenangan pejabat definitif dengan pejabat penjabat. Sehingga potensi terganggunya tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik tak perlu di khawatirkan. Tak perlu juga mengkhawatirkan soal legitimasi. Sebab Presiden yang ditugaskan menunjuk pejabat penjabat adalah produk pemilu yang legitimate.
Jika tahapan Pilkada memang konsisten harus dimulai dalam waktu dekat maka terdapat sejumlah potensi masalah yang seyogyanya mulai hari ini diantisipasi.
Pilkada 2020 adalah Pilkada serentak di gelombang terkahir. Tiga Pilkada sebelumnya membuktikan bahwa kualitas tahapan masih diwarnai dengan banyak persoalan. Mulai dari mahar pencalonan (candidate buying), manipulasi dokumen syarat dukungan, keakuratan daftar pemilih, politik uang (vote buying) mobilisasi dan intimidasi pemilih, kampanye amburadul, kesalahan dalam pencatatan, Penghitungan dan rekapitulasi suara, penyogokan lembaga-lembaga peradilan dan perangkat hukum pilkada yang buruk.
Masalah diatas hingga kini belum juga ditemukan jalan keluarnya. Namun masalah baru sudah didepan mata yakni melaksanakan Pilkada dalam ancaman virus. Kualitas Pilkada salah satunya adalah menuntut instrumen pengawasan partisipatif masyarakat sebagai variabel utama. Dalam keadaan normal saja, fungsi pengawasan partisipatif belum optimal dilakukan.
Masyarakat yang datang melaporkan dugaan pelanggaran, sebagian besar bukan karena kesadaran untuk memperbaiki kualitas Pilkada, tetapi masyarakat pendukung pasangan calon yang kalah.
Kedepan peran ini akan makin rumit. Keterlibatan masyarakat dilapangan tidak seleluasa akibat pembatasan aktivitas. Hal ini akan menghambat masyarakat merekam segala bentuk kejahatan baik yang dilakukan oleh kandidat atau tim sukses. kondisi ini akan menyulitkan kerja-kerja pengawasan Bawaslu.
Jika ada masyarakat yang mengetahui persis adanya dugaan pelanggaran belum tentu bersedia jika dihadirkan oleh Bawalsu sebagai saksi dalam persidangan karena alasan kesehatan atau pembatasan aktivitas.
Inilah yang kemudian menyulitkan bawaslu jika kelak berinovasi memanfaatakan teknologi online dalam klarifikasi ataupun investigasi mendalami sebuah dugaan. Tidak semua masyarakat memiliki akses itu.
Di daerah pedalaman masih banyak tidak memiliki akses internet, komputer ataupun listrik. Jumlah tenaga operator belum tentu tercukupi. Sebab kapasitas operator bukan hanya kemampuan IT tapi juga soal kejujuran dan etika.
Proses penyelidikan dari laporan sampai keputusan tidak cukup panjang bagi bawaslu untuk membuktikannya. UU 10/2016 hanya memberi ruang 3 hari dengan tambahan 2 hari. Berbeda dengan UU 7/2017 yang memberi waktu 14 hari.
Kondisi ini tentu akan sangat sulit. Dinamika Pilkada jauh lebih rumit ketimbang dinamika pemilu. Sebab kedekatan emosional antara masyarakat dengan calon sangatlah dekat. Sehingga jika ada dugaan perlakuan tidak adil terhadap calonnya maka pendukungnya dengan cepat bergerak dan bereaksi.
Tentu ini menjadi dilema sebab tidak mungkin pengawas dituntut berkerja maksimal jika dalam kondisi mengancam. Atas dasar sumpah jabatan, mereka pasti akan bekerja sesuai perintah UU. Namun mereka juga memiliki keluarga yang harus juga dilindungi.
Mengawasi TPS di lokasi-lokasi rawan atau di wilayah zona merah seperi rumah sakit dan kluster tentu sangat mengancam para pengawas.
Saya mendorong para pengawas untuk berkeja profesional. Karena :
1. Mendorong tingkat Kepercayaan publik yang dampaknya pada kualitas Partispasi pengawasan.
2. Untuk mencegah terjadinya konflik di lapangan.
3. Untuk mengawal proses Pilkada berkualitas.
Namun hal yang perlu dilakukan adalah keselamatan diri sendiri. Dengan demikian tidak hanya diri sendiri yang diselamatkan tetapi juga keselamatan keluarga dan masyarakat sekitar.