Revolusi mental yang digagas oleh Jokowi merupakan sebuah tawaran yang menarik. Sebuah langkah untuk berani merombak sebuah kebiasaan yang telah membudaya dan mengakar pada sebuah sistem digantikan dengan nuansa baru yang dapat memberi harapan baru. Mirip dengan kata evolusi, yang bermakna sebuah langkah berani untuk bertahan hidup. Dengan kata lain, revolusi menawarkan perubahan agar senantiasa melakukan perubahan demi bertahan hidup. Revolusi paling sederhana, yakni revolusi mindset, cara kita memandang.
Sebagai ranah fondasi untuk membangun kesadaran berpikir, dunia pendidikan sejatinya harus mampu memberi teladan dalam mendorong suksesnya revolusi mental tersebut. Sebab peran sektor sektor pendidikan ditambah dengan sektor kesehatan dan ekonomi memberi cerminan kualitas sumber daya manusia yang terangkum dalam skala Indeks Pembangunan Manusia. Makanya, titik nol untuk memulai revolusi mental secara massif dan berkelanjutan, sangatlah tepat jika dicontohkan sejak dini melalui ruang pendidikan.
Efek psikologi dari daerah jajahan yakni ada kecenderungan dari masyarakat terjajah untuk meniru para penjajahnya. Teori postkolonialisme menyebutkan kecenderung mayarakat terjajah untuk meniru baik fisik dan perilaku penjajah. Contoh sederhananya, masyarakat kita cenderung mengagumi seseorang yang berkulit putih, tinggi, dan hidung mancung. Pengaguman bukan hanya secara fisik, secara psikis juga tertanam bibit menjajah. Kecenderungan lainnya yakni, menguatnya hasrat untuk ‘menjajah’ yang diwujudkan dalam pendudukan sebuah jabatan strategis organisasi.
Berita Lainnya
Idealnya pucuk pimpinan organisasi bukanlah seorang ‘penjajah’. Namun masyarakat kita terkondisi bahwasanya pucuk pimpinan adalah posisi terbaik untuk memerintah orang lain, hehe. Kenapa demikian, lihat saja semua orang berlomba-lomba untuk menjadi pimpinan. Bahkan perebutan kekuasaan menguras hampir separuh energi dari sebuah organisasi. Hal ini juga tidak dipungkiri terjadi dalam lingkup dunia pendidikan yang nota natabene merupakan ruang untuk belajar termasuk berperilaku organisasi.
Kecenderungan para politisi untuk berbondong-bondong mencalonkan diri sebagai pemimpin rakyat merupakan fenomena yang lagi tren saat ini. Selain efek psikologis tadi, bawaan paternalistik dalam budaya masyarakat sangat kental, dimana pemimpin dianggap sebagai ‘tempat berlindung’. Konsep sinergitas dalam bentuk kerja sama, sangat lemah dalam suasana seperti ini. Peran pemimpin sebagai dirigen, yakni pengatur untuk menghasilkan alunan musiak yang indah tidak maksimal dalam situasi seperti ini.
Contoh kasus yang terjadi di perguruan tinggi (simbol dunia pendidikan tertinggi), untuk menjadi seorang rektor atau dekan biasanya dipangku oleh seorang profesor keilmuan akademik. Pertanyaan sederhanya adakah korelasi antar gelar dengan kemampuan manajerial organisasi? Salah satu konsekuensi yang nyata terjadi yakni, sumber daya manusia terdidik dan professional yang dimiliki oleh seorang profesor sejatinya perlu ditularkan pada mahasiswa tidak maksimal tersalurkan. Pendidikan sang dosen hingga pada level tertinggi dunia pendidikan, seakan hanya menjadi batu lompatan saja untuk mendapatkan sebuah jabatan. Bukan lagi pada visi, semakin hebat sang guru, maka muridnya akan hebat juga.
Tidak heran kita akan menemukan mahasiswa yang akhirnya harus terlunta-lunta dalam pembimbingan penelitian akhir. Sang dosen pembimbing terlalu sibuk dengan urusan manajerial kampus. Dosen pembimbing dari mahasiswa terlalu sibuk untuk mengikuti pembahasan keuangan fakultas atau universitas. Tugas sebagai seorang dosen untuk membimbing mahasiswa dianggap lalu, karena menganggap bahwa pembahasan manajerial kampus lebih penting karena menyangkut mayoritas warga kampus. Sang dosen dihadapkan pada situasi untuk memilih mana yang prioritas, tentu saja akan mengorbankan sang mahasiswa bimbingan. Belum lagi karena kesibukannya, sang dosen tidak menjadi teliti dan sembarang untuk melakukan koreksi dan pembimbingan pada mahasiswa. Akibatnya, kualitas penelitian yang dihasilkan perguruan tinggi hanya asal-asalan.
Mirip-mirip dengan dunia kesehatan, pembahasan untuk menjadi pucuk pimpinan masih menjadi topik hangat hingga kini. Misalnya kepala rumah sakit, regulasi yang tertuang dalam Undang-undang (UU) nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyebutkan bahwa kepala rumah sakit harus belatar-belakang medis. Sebuah diskriminasi profesi, karena membatasi bagi tenaga kesehatan lainnya yang tidak berlatar belakang medis. Jika kita kritisi, pantaskah seorang yang berlatar belakang medis yang terbiasa dalam kajian ‘mikro’ mengahadapi situasi ‘makro’. Yang sungguh disayangkan yakni hasil didikan yang sejatinya untuk tindakan medis, akhirnya terbuang percuma karena tuntutan pekerjaan sebagai pucuk pimpinan rumah sakit.
Kecenderungan dunia medis, makin ahli maka makin spesialis dan bahkan subspesialis keahlian. Makanya agak aneh jika sebuah manajemen rumah sakit ditangani oleh tenaga medis dengan keahlian yang sub-spesialis. Kepakaran dan keahliannya, pada akhirnya tidak maksimal digunakan pada jabatan yang dipegannya. Ahli bedah saraf jantung, tentu saja akan kesulitan memahami aktiva keuangan rumah sakit. Bisa dipahami bahwasanya top manajerial tidak perlu memahami segalanya. Lantas jika tak paham, buat apa memaksakan jadi top manajerial. Mungkin saja ada yang lebih pantas dan layak untuk memimpin. Itulah letak nafsu menjajah pada model manajerial konvensial di sektor kesehatan.
Sepantasnya, ruang-ruang aktualissasi ilmu bagi tenaga non medis dalam mengaplikasikannya dalam manajemen rumah sakit. Sama halnya dengan dunia kampus. Sudah layaknya, seorang tenaga administrasi terampil mampu hadir sebagai pucuk pimpinan dunia pendidikan. Sehingga tidak heran kita melihat, banyaknya tenaga pengajar yang lupa akan tridarma pendidikan yakni mengajar, meneliti dan membina masyarakat, terlalu sibuk dengan proses manajerial. Bayangkan, seorang rektor ternyata profesor untuk teknologi nuklir. Lah, ilmu dan keahliaanya yang dahsyat itu buat apa jika hanya mengurus manajerial. Sayang kan ilmu yang begitu mahal, yang harusnya dituarkan pada anak murid tidak terlaksana.
Sudah saatnya dunia pendidikan memulai revolusi mental, memberi panutan terbaik bagi generasi muda. Jabatan tertinggi bukan puncak untuk aktulisasi diri yang sesungguhnya. Optimalisasi peran dengan aplikasi keilmuan yang didapat dari bangku pendidikan dapat bernilai amal ibadah jika kita persembahkan dengan hati nurani yang ikhlas, jauh dari ketamakan nafsu menjajah. Dunia pendidikan sebagai ‘pabrik’ untuk menghasilkan produk sumber daya manusia yang manusiawi perlu merefleksi diri. Semoga tawaran revolusi mental menjadi momentum tepat untuk mengevaluasi yang selama ini tengah berlangsung.