Demam Berdarah atau yang akrab ditelinga kita dengan DBD, akhir-akhir ini menjadi momok menakutkan bagi warga Sulawesi Utara… Hampir semua daerah dibumi nyiur melambai sibuk mengurus nyamuk Aedes Aegypti yang menjadi penyebab manusia terserang demam berdarah. Berita mengenai DBD yang menimpa warga, hampir setiap hari gentayangan di berbagai media baik cetak maupun online apa terlebih di sosial media. Belasan (atau sudah puluhan/ratusan) nyawa melayang akibat gigitan nyamuk. Kicauan warga Sulut mengenai DBD di media sosial mungkin saat ini telah menjadi trending topic..
Bahkan pemerintah terlebih instansi terkait yaitu Dinas Kesehatan kerap menjadi pelampiasan amarah warga (meski terkadang salah sasaran). Instansi ini sering kali dituding bekerja lambat bahkan seolah acuh tak acuh mencegah penyebaran penyakit demam berdarah. Hal tersebut saya dengar langsung dari percakapan warga saat sedang kumpul-kumpul (alias ba karlota sebutan orang Manado), maupun saya baca dalam kicauan dimedia sosial (facebook dan twitter). Masyarakat menganggap bahwa pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan lamban melakukan pengasapan atau fogging. Benarkah demikian?
Sebagai masyarakat awam, saya memaklumi apa yang sebagian besar warga katakan didunia nyata. Namun sebagai penikmat dunia maya, saya jelas TIDAK SETUJU dengan berbagai ocehan sebagian warga didunia maya terlebih kicauan di facebook dan twitter. Hal ini bukan karena saya saat ini sedang bekerja di instansi kesehatan, terus terkesan membela instansi tempat saya bekerja. Jika masih tidak puas dengan pendapat saya, silahkan arahkan kursor anda kebagian kanan atas layak monitor terus pilih kotak merah yang terdapat huruf X, SELESAI.
Berita Lainnya

Namun, jika anda masih penasaran kenapa saya tidak setuju mengenai kicauan pengguna sosial media mengenai DBD silahkan anda lanjutkan membaca ocehan saya di blog ini. Berikut 3 kicauan warga yang saya dengar/baca
1. Pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan enggan melakukan pengasapan / fogging. Faktanya pengasapan atau yang keren dengan sebutan Fogging tidak boleh dilakukan sembarangan. Ada protap/SOP yang harus dipenuhi sehingga fogging bisa dilakukan seperti Adanya penderita positif DBD berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, telah dilakukan penyelidikan epidemiologi sebelumnya pada lokasi ditemukan penderita DBD.
2. Petugas Kesehatan hanya memprioritaskan melakukan fogging dilokasi yang sudah ada penderita DBD. Faktanya pengasapan memang hanya dilakukan dalam radius kurang lebih 100 meter dari lokasi ditemukannya penderita yang sudah terserang DBD. Tahukah anda kalau sering difogging itu sebenarnya tidak bagus untuk kesehatan? Silahkan buka google.com dan cari dampak buruk fogging. Silahkan anda baca dengan seksama, setelah selesai anda baca masikah anda menginginkan tempat tinggal anda difogging?
3. Petugas kesehatan tidak peka . Jika yang anda maksud petugas kesehatan yang tidak melakukan penyuluhan beberapa bulan sebelum DBD menggemparkan Sulut, itu saya bisa maklumi. Namun jika anda mengatakan bahwa petugas kesehatan tidak peka terhadap kejadian DBD yang menimpa warga, mungkin kita sendirilah yang kurang peka terhadap lingkungan disekitar tempat tinggal kita. Tempat penampungan air tidak dibersihkan, wadah yang bisa menampung air dan menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk diacuhkan begitu saja. Padahal hal ini (pencegahan DBD) yaitu 3 M, menguras, menutup dan mengubur telah kita ketahui sejak lama…. Kenapa kita masih mengacuhkannya? Silahkan jawab sendiri!
Bila petugas kesehatan hendak melakukan penyuluhan dan berniat mengumpulkan masyarakat, seberapa banyakkah warga yang mau mendengar penyuluhan tersebut? Silahkan dijawab dengan jujur! Sadarkah anda bahwa mereka (petugas fogging) mempertaruhkan nyawa mereka untuk melakukan pengasapan? Pernakah anda mengucapkan “makase banya” (baca: Terima Kasih Banyak) kepada mereka setelah mereka menyemprot rumah/lingkungan disekitar tempat tinggal anda?
Dan yang menjadi pertanyaan bagi para penikmat sosial media adalah: Pernakah para pengguna sosial media melakukan penelusuran lewat mesin pencari sebelum memposting sesuatu di linimassa? Bukankah kita akan dengan mudahnya menemukan informasi mengenai demam berdarah, penyebab demam berdarah, pencegahan demam berdarah, SOP fogging, bahaya fogging dan hal-hal yang berhubungan dengan itu didunia maya?
Btw in the bus way,,, jika warga Sulawesi Utara sedikit melihat kebelakang, beberapa waktu lalu sebelum DBD menyerang, banyak kejadian yang menggemparkan terjadi di Sulut. Kasus pembunuhan sadis seperti yang dilakukan oleh para mafia silih berganti terjadi, padahal warganya menyebut Sulut land of the smilling people . Perang antar lingkungan/antar kampung berulang kali terjadi di daerah yang dikenal dengan semboyan Torang Samua Basudara. Panah wayer kerap menghantui warga, dan mirisnya sering yang jadi korban adalah mereka yang dikenali oleh pelaku. Kejadian-kejadian tersebut, seolah-olah menggambarkan bahwa kita sudah tidak lagi saling peduli satu dengan lainnya (ataukah memang begitu?).
Namun,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ketika nyamuk Aedes Aegypti menyerang Sulut hingga mengakibatkan berjatuhannya warga, masyarakat kembali dipersatukan layaknya tou Minahasa (orang Minahasa) yang dahulu kala saling peduli satu dengan yang lainnya. Mereka yang dulunya nyanda baku togor (baca: tidak saling menegur), baku feyem, nyanda baku farek (baca: tidak saling peduli) akhirnya bergotong royong, bahu membahu, saling mengingatkan agar supaya DBD tidak semakin meluas. Haruskah kita selalu ditegur oleh Dia seperti kejadian berabad-abad lalu di mesir seperti yang tertuang dalam kita suci umat nasrani (Alkitab, baca: 10 tulah di mesir)? Haruskah berbagai malapetaka seperti banjir bandang dan DBD menyerang Sulut, kemudian kita jadi saling peduli antara satu dengan lainnya? Mari kita renungkan bersama!