Menyeberang jalan di Kota Manado ibarat perjuangan tersendiri bagi banyak pejalan kaki. Di jalan-jalan utama kota, fasilitas penyeberangan seperti zebra cross dan jembatan penyeberangan orang (JPO) sudah tersedia, namun kondisinya memprihatinkan. Warga pun terpaksa menghadapi tantangan setiap hari demi mencapai seberang jalan dengan selamat.
Kondisi Zebra Cross di Manado
Zebra cross seharusnya menjadi penanda jelas bagi pengemudi agar memberi jalan kepada pejalan kaki. Pola garis hitam-putih pada zebra cross idealnya mudah terlihat dari kejauhan, sehingga pengemudi tahu ada jalur penyeberangan dan bersiap memperlambat kendaraannya. Namun, di Manado banyak zebra cross yang kondisinya tidak terawat. Di ruas-ruas jalan utama seperti Jalan Yos Sudarso, A.A. Maramis, Sudirman, hingga Boulevard Piere Tendean, garis penyeberangan sudah memudar dan nyaris tak terlihat. Cat putih yang dulunya kontras kini terkelupas, menyatu dengan warna aspal jalan. Akibatnya, zebra cross kehilangan fungsinya – pengemudi kerap tidak menyadari ada penyeberang yang menunggu karena tanda di jalan nyaris tak ada.
Warga menyebut kondisi ini berbahaya. “Kalau jalur penyeberangan tidak jelas, sopir tidak akan berhenti. Kami pejalan kaki jadi harus ekstra hati-hati,” keluh seorang ibu rumah tangga di kawasan Paal Dua. Ia sering menyeberang di Jalan Yos Sudarso dekat Pasar Segar, di mana zebra cross ada tapi sudah pudar. Menurutnya, setiap menyeberang ia harus melambaikan tangan agar pengendara memperlambat laju. “Jujur, takut sekali, apalagi bawa anak. Garis zebra cross tidak kelihatan, jadi mobil tidak mau berhenti,” ujarnya sambil berharap pemerintah segera mengecat ulang marka penyeberangan di lokasi tersebut.
Berita Lainnya
JPO yang Tidak Digunakan
Selain zebra cross, pemerintah kota sebenarnya telah membangun Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di beberapa titik. Ironisnya, dua JPO megah yang sudah didirikan justru sepi pengguna. Salah satunya JPO berwarna merah di depan IT Center, pusat perbelanjaan elektronik di Jalan Piere Tendean. JPO ini selesai dibangun pertengahan 2022 dengan dana Corporate Social Responsibility (CSR) pihak swasta, dengan tujuan mulia untuk mengurangi kecelakaan dan kemacetan di ruas jalan tersebut (baca: sumberberita.id). Namun, realitasnya jauh dari harapan.
Menurut Ronny Makawata, anggota DPRD Kota Manado, JPO depan IT Center itu “hanya seperti penghias jalan saja, tidak ada asas manfaatnya” karena sangat jarang digunakan warga (baca: sumberberita.id). Pejalan kaki lebih memilih menyeberang langsung di jalan ketimbang naik tangga ke atas jembatan. Jika diperhatikan, setiap hari banyak orang menyeberang di bawah JPO meski lalu lintas padat. Alasannya beragam, mulai dari terburu-buru hingga enggan naik karena desain JPO yang kurang ramah. Makawata menyoroti konstruksi jembatan ini yang dinilainya tidak nyaman: aksesnya sempit dan tangganya terlalu curam untuk dilalui (baca: sumberberita.id). Bagi lansia, ibu hamil, atau difabel, menaiki tangga tinggi JPO jelas menjadi kesulitan tersendiri. Kondisi serupa juga tampak pada JPO di kawasan Lapangan Bantik, Malalayang – meski sudah ada, banyak warga tetap enggan menggunakannya karena faktor kenyamanan dan keamanan.
Kurangnya penerangan dan fasilitas pendukung turut menjadi alasan JPO tidak diminati. Pantauan di lapangan menunjukkan JPO kerap kotor dan gelap pada malam hari. “Takut lewat atas, sepi sekali apalagi malam,” kata seorang netizen. Ia mengaku lebih merasa aman menyeberang di bawah bersama arus kendaraan yang ramai, ketimbang naik ke JPO yang sepi orang. Bagi sebagian warga, risiko ditabrak kendaraan di jalan dianggap lebih kecil daripada kemungkinan tindak kriminal di JPO yang kurang penerangan dan pengawasan. Meski demikian, pilihan menyeberang langsung di jalan tentu berbahaya dan mengganggu kelancaran lalu lintas.
Pengalaman warga Manado saat menyeberang jalan bervariasi, tapi umumnya penuh perjuangan. Tiap hari, pejalan kaki harus “bernegosiasi” dengan arus kendaraan. Tidak jarang mereka menunggu lama di pinggir jalan, mencari celah di sela-sela kendaraan yang melaju cepat. Di titik-titik tanpa lampu lalu lintas, menyeberang benar-benar mengandalkan keberanian dan empati pengemudi untuk mau berhenti. Seorang karyawan kantoran di kawasan A.A. Maramis bercerita selalu berjalan kaki ke tempat kerja, namun bagian tersulit adalah saat menyeberangi Jalan A.A. Maramis yang lebar. “Kadang saya menunggu agak lama, mobil tidak ada yang mau berhenti. Akhirnya saya lari cepat-cepat pas agak kosong,” tuturnya. Zebra cross di lokasi itu ada, tapi karena warnanya pudar, pengendara enggan mengalah. Pengalaman-pengalaman ini menunjukkan bahwa keberadaan fasilitas penyeberangan saja tidak cukup – penempatannya, kondisinya, dan kepatuhan pengendara semuanya ikut menentukan keselamatan pejalan kaki.
Tidak hanya soal infrastruktur, budaya berlalu lintas turut berperan. Beberapa warga mengamati bahwa banyak pengemudi di Manado kurang memberikan prioritas kepada pejalan kaki. Padahal sesuai aturan, zebra cross berarti pejalan kaki memiliki hak utama saat menyeberang. “Sering torang sudah injak zebra cross, malah motor masih tancap gas,” ujar seorang netizen, tentang pengalamannya di salah satu zebra cross. Akibatnya, pejalan kaki harus ekstra waspada dan saling menjaga. Spontan muncul inisiatif warga untuk menyeberang berkelompok; dengan berjalan bersama-sama dalam rombongan kecil, mereka berharap pengendara lebih berhati-hati karena melihat banyak orang menyeberang sekaligus. Meski bukan solusi ideal, cara ini kerap dilakukan demi bisa melintas dengan selamat.
Tantangan bagi Pemerintah
Persoalan fasilitas penyeberangan di Manado menjadi “PR” (pekerjaan rumah) bagi pemerintah daerah. Dinas terkait, seperti Dinas Perhubungan dan Dinas Pekerjaan Umum, dituntut sigap memperbaiki kondisi ini. Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Pertama, perawatan zebra cross harus rutin dilakukan. Marka penyeberangan mudah pudar tergerus cuaca panas dan hujan, serta tekanan ribuan kendaraan setiap hari. Idealnya, pengecatan ulang dilakukan secara berkala. Kenyataannya, keterbatasan anggaran dan banyaknya titik yang harus diurus membuat perawatan sering terlambat. Pemerintah perlu menetapkan skala prioritas – misalnya zebra cross di depan sekolah, pasar, dan perkantoran yang ramai pejalan kaki harus didahulukan untuk diperjelas garisnya. Pada tahun 2017, Pemkot Manado sempat mendapat apresiasi karena sigap menanggapi keluhan warga dengan membuat zebra cross baru di depan sekolah dan rumah ibadah (baca: beritamanado.com). Langkah proaktif semacam itu diharapkan terus dilakukan, tidak hanya membangun fasilitas baru tapi juga merawat yang sudah ada.
Kedua, mendorong warga menggunakan JPO merupakan tantangan tersendiri. Pemerintah Kota telah berupaya menyediakan JPO di lokasi-lokasi strategis dengan harapan mengutamakan keselamatan pejalan kaki tanpa mengganggu arus kendaraan. Akan tetapi, seperti diakui oleh anggota dewan, manfaat JPO belum dirasakan karena rendahnya minat warga. Sosialisasi dan edukasi perlu digencarkan agar masyarakat memahami pentingnya menggunakan jembatan penyeberangan. Petugas bisa ditempatkan di titik-titik rawan untuk mengarahkan pejalan kaki naik ke JPO, minimal pada jam-jam sibuk. Selain itu, pemerintah perlu memastikan JPO yang ada memenuhi aspek kenyamanan: tangga tidak terlalu curam, dilengkapi penerangan memadai, atap pelindung hujan, serta kebersihan yang terjaga. Tanpa perbaikan ini, imbauan saja mungkin tidak cukup.
Dinas terkait juga menghadapi dilema antara aksesibilitas vs. disiplin pengguna. Misalnya, jika zebra cross dihapus pada area yang sudah ada JPO (agar pejalan kaki dipaksa memakai JPO), dikhawatirkan malah membahayakan mereka yang nekat menyeberang tanpa fasilitas apa pun. Di sisi lain, membiarkan zebra cross aktif di dekat JPO membuat orang cenderung tetap menyeberang di jalan. Solusinya mungkin membutuhkan inovasi, seperti pemasangan pagar pembatas di median jalan yang mengarahkan langkah kaki menuju JPO, atau desain JPO yang dilengkapi ramp landai/lift sehingga semua kalangan bisa menggunakan. Tentu ini tidak mudah dan butuh biaya besar, sehingga jadi tantangan bagi pemerintah daerah.
Mencari Solusi Bersama
Masalah sulitnya menyeberang jalan di Manado tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Keselamatan pejalan kaki adalah hal utama yang harus dilindungi. Warga berharap pemerintah lebih tanggap lagi: zebra cross diperbanyak dan dicat terang, JPO diperbaiki desainnya dan dijaga keamanannya. Sembari menunggu perbaikan, masyarakat juga diimbau untuk berhati-hati dan memanfaatkan fasilitas yang ada semaksimal mungkin. Perlu kesadaran bersama antara pejalan kaki dan pengendara. Pengemudi diharapkan lebih disiplin menghormati zebra cross dan tidak memacu kendaraan berlebihan di area penyeberangan. Sementara itu, pejalan kaki diimbau menyeberang pada tempatnya dan tidak ragu memberikan isyarat kepada pengendara jika hendak melintas.
Pada akhirnya, kota yang ramah bagi pejalan kaki membutuhkan kolaborasi semua pihak. Fasilitas yang baik tanpa diiringi budaya tertib tidak akan efektif, begitu pula sebaliknya. Warga Manado dengan segala pengalamannya sudah menyuarakan keluhan dan harapan mereka. Kini bola ada di tangan pemerintah untuk menjawab tantangan tersebut. Apakah zebra cross akan kembali dicat terang? Apakah JPO akan dipercantik agar diminati? Sembari mencari jawabannya, untuk sementara warga harus terus “berjuang” tiap kali menyeberang jalan, berharap senyum dan empati pengendara dapat mengantar mereka selamat sampai di seberang sana.
— Artikel dihasilkan oleh AI Chat-GPT, Prompt dibuat oleh CXFranklin. Ditinjau/diedit oleh CXFranklin.
