JAKARTA – Sudah seminggu lamanya pendaftaran parpol di KPU berakhir, dan sampai saat ini KPU belum juga mengeluarkan Berita Acara sebagai basis hukum backup checklist di masa pendaftaran. Ini berarti KPU sengaja melakukan penyanderaan terhadap parpol yang tidak lolos di fase pendaftaran untuk menunggu 4 bulan lamanya atau tepatnya 17 feb 2018 bersengketa proses di BAWASLU. Beberapa catatan kecil diberikan oleh Nasrullah Ketua Electoral Management & Constitution (E-MC)dan Direktur E-MC Sulut Jhony Suak.
KPU menganggap fase pendaftaran adalah pemenuhan kelengkapan persyaratan yang wajib dijalankan parpol, sehingga parpol yang tidak lengkap persyaratannya tidak dapat diproses lebih lanjut dalam penelitian. Alasannya, bahan apa yang akan diteliti, jika tidak diberi bahan oleh parpol. Oleh sebab itu, saat ini KPU hanya meneliti Parpol yang lolos di fase pendaftaran saja.
Konsekuensinya, hanya parpol yang lolos dimasa pendaftaran yang akan dimuat dalam berita acara hasil verifikasi/penelitian administrasi , mengapa? Karena yang diteliti hanyalah yang lengkap Berita Acara (BA), perbaikan verifikasi administrasi BA, verifikasi faktual dan BA perbaikan verifikasi faktual. Barulah dalam penetapan parpol sebagai peserta pemilu pada tangal 17 Februari 2018 produk hukumnya keputusan.
Sebenarnya dalam tahapan verifikasi parpol untuk mjd peserta pemilu di ranah KPU, terdpt dua fase penentu utama kepesertaan parpol, yaitu fase pendaftaran dan fase penelitian. Kedua fase ini terintegrasi satu kesatuan, shg tdk boleh ada diskriminasi pemberlakuan parpol dlm mencari keadilan. Ruang upaya hukum terhadap segala hal yang menyumbat hak konstitusional parpol (yg jg mrp refresentasi rakyat), wajib tersedia. Di fase penelitian KPUsudah cerdas mengantisipasinya dengan menerbitkan berita acara. Sementara di fase pendaftaran tidak ada. Hanya checklist, dan KPU paham dengan checklist parpol tidak dapat mengajukan sengketa proses ke BAWASLU.
Politik hukum lahirnya sengketa proses pemilu, berawal ketika semua persoalan proses pemilu berakhir di Mahkamah Kosntitusi, padahal Konstitusi hanya memberi kewenangan kepada MK untuk menangani perselisihan hasil pemilu. Mesk dalam perkembangannya MK mempraktekkan hal subtantif bahkan masuk dalam ranah TSM (terstruktur, sistematis dan massif).
Kedua, karena alasannya semua proses pemilu berujung di MK, dibuatlah seperti kuasi yudisial (semacam Arbitrase) untuk menyelesaikan persoalan2 kepemiluan di internal penyelenggara pemilu. Maksudnya penyelenggara pemilulah yang lebih paham terkait proses-proses pemilu.Sehingga diberikanlah kepada BAWASLU untuk menangani Proses ajudikasi tersebut.
Ketiga, karena proses pemilu itu cepat, maka ia butuh penyelesain yang cepat pula. Penanganan pelanggaran yang menjadi domain BAWASLU dalam menegakkan hukum pemilu (pelanggaran etik, pidana dan adminitrasi) bukan satu-satunya yang dijadikan tumpuan, melainkang proses ajudikasi pemilu yang dibutuhkan.
Keempat, secara yuridis, amanat Pasal 22E ayat (5) “pemilihan umum dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”.(Oleh MK memaknai, huruf k,p dan u kecil adalah penyelenggara pemilu dimana asas-asas penyelenggara pemilunya sama, sehingga kedudukan KPU dan BAWASLU sama sebagai penyelenggara pemilu (mohon koreksi jika salah)).
Pasal ini dapat dimaknai, bahwa seluruh persoalan-persoalan pemilu sepenuhnya diserahkan kepada penyelenggara pemilu termasuk di dalamnya sengketa pemilu. Pengecualiannya, khusus perselisihan hasil kewenangan MK. Jadi, maunya konstitusi, selesaikan semua persoalan pemilu ini di pasal 22E dan jangan lagi geser atau bergerakkepada pasal-pasal lain, kecuali yang sdh diatur dalam konstitusi.
Dengan demikian, karena proses pemilu yang begitu cepat, butuh kecerdasan penyelenggara pemilu mengantisipasi setiap ruang dan waktu untuk dapat memberi garansi terbukanya warga negara/parpol mencari keadilan. Jadi harus ada celah upaya hukum yang sengaja diciptakan oleh penyelenggara pemilu.
Budaya penyelenggara pemilu harus memahami cara kerja yang benar. Pertama, ia harus memahami bahwa ia bekerja mewakili negara. Negara tidak boleh sewenang-wenang terhadap rakyatnya (maachstaats), tetapi ia harus memperlakukannya secara manusiawi.
Sudah paham kalau hanya menerbitkan cheklist pasti tidak dapat bersengketa. Selain itu dibiarkan berlaru-larut hingga menunggu 4 bulan lamanya. Itupun kalau parpol yang tidak lolos ini namanya ada/terdaftar dalam keputusan KPU ttg penetapan parpol peserta pemilu. Maklum mereka tdk diteliti. Bisa jadi hanya 14 parpol (yang saat ini diverifikasi) memiliki legal standing bila ada yang tidak lolos sebagai peserta pemilu.
Kedua, penyelenggara pemilu harus memiliki paradigma berpemilu atau berparadigma hukum pemilu. Tidak hanya ia berkedudukan mewakili negara,tetapi ia harus menempatkan bahwa pemilu itu milik rakyat. Bukan milik KPU, BAWASLU, PEMERINTAH ! Rakyat harus diperlakukan secara terhormat, ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi.
Jika memahami pemilu untuk rakyat, maka pasti produk hukum penyelenggara pemilu responsif dan progresif. Mumpung tahapan verifikasi belum terlalu jauh, segeralah mengoreksi dan mengambil kebijakan agar parpol tidak tersandera. Toh, KPU pernah mengambil kebijakan menolong sehari bg parpol yang belum lengkap datanya.
Ketiga, sebagai penyelenggara pemilu jauhi diri anda anda pelanggar pemilu atau jangan pernah mau ditangani oleh BAWASLU melalui penanganan pelanggaran, meski itu sifatnya administratif. Kesan publik kurang baik. Seolah- olah penyelenggara sendiri yang paling banyak melanggar. Apalagi penanganan pelanggaran biasanya yang tau hanya yang memeriksa dan diperiksa. Lebih baik dan lebih terhormat jika menggunakan ruang sengketa.
Pembelaannya ada, adu argumentasi, berimbang dan terbuka. Publik minimal memiliki referensi untuk mengukur dan menilai siapa sesungguhnya yang g keliru. Apalagi sarananya ada (misal: sengketa proses), kenapa tidak didorong kesana?
Ketika Parpol menyoal persoalan ini ke ranah penanganan pelanggaran di BAWASLU, pelanggaran apanya yang mau ditangani dalam verifikasi parpol ini? Peraturan BAWASLU mengenai pengawasan verifikasi parpol belum ada. Belum dikonsultasikan ke komisi II. Jd, kalau toh ada temuan bawaslu tentang kekurangan sipol, ketidaktepatan waktu, dan sebagainya itu adalah kerja-kerja yang tidak sistematis, tidak terencana dan sama sekali tidak memiliki pola. Alat kerja pengawasan tidak ada, bagaimana metode pengawasan ketika verifikasi administrasi juga tidak ada. Bagaimana mau ada, perbawaslunya tidak ada! Jadi, maaf bekerja menangani pelanggaran ini ya kesannya hanya meraba-raba.
Apalagi PERBAWASLU sengketa proses, sampai saat ini juga belum dikonsuktasikan ke DPR, penomorannya juga belum . Saya khawatir, BAWASLU sengaja mengulur sengketa proses 4 bulan kemudian. Sengaja berlindung di balik UU. Padahal ia sendiri mengetahui bahwa pada fase pendaftaran terdapat hak konstitusional partai yang belum memiliki celah untuk mencari keadilan. Selain itu bawaslu juga paham bahwa harus ada perlakuan yang sama dan sangat menentukan nasib parpol menjadi peserta pemilu baik difase pendaftaran maupun penelitian dengan menerbitkan berita acara.
Tidak tuntasnya perbawaslu berarti sama saja bawaslu telah melakukan penyanderaan pemilu, dan parpol berada di dalamnya. Oleh sebab itu, penyanderaan ini tidak boleh berlarut. Segera tuntaskan perbawaslu dan konsultasi ke komisi II, dan berilah solusi-solusi brilyan, responsif dan dapat dipertanggungjawabkan.