MODUS BISNIS PARTAI POLITIK

SULUT – Minggu lalu (02/09) saya diundang menjadi salah satu narasumber pada webinar membedah “Siapa yang Berdaulat, Partai politik atau Rakyat”. Saya senang dengan forum ini. Alasannya untuk 3 hal.
Pertama, saya dipaketkan dengan Bung Ray Rangkuti, Direktur Lima Indonesia. Publik sangat kenal dengan sosok intelektual ini karena konsisten tetap berada di arena perjuangan kepentingan publik.
Kedua, saya mendapat sebuah kehormatan karena diundang oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) sebuah lembaga yang saya kenal sangat serius mendorong pemilu lebih berkualitas. Lembaga ini memiliki reputasi bukan sebatas karena gagasannya telah banyak mempengaruhi kebijakan-kebijakan kepemiluan namun juga tokoh-tokoh yang bernaung dan ikut membesarkan lembaga itu dikenal publik sebagai pemikir-pemikir yang handal dan objektif.
Saya sering meminjam konsep para pemikir ini sebagai panduan dalam menganalisis baik untuk penelitian, jurnal, penulisan buku ataupun ketika dilibatkan dalam merumuskan kebijakan kepemiluan. Wajar jika kader-kadernya banyak diberikan ruang sebagai penyelenggara pemilu baik di tingkat pusat maupun didaerah.
Ketiga, topik yang diangkat sangat menarik. Bukan karena karena fenomenal, tapi relevan dengan persiapan KPU dalam proses verifikasi parpol calon peserta pemilu 2024.
Topik yang diangkat JPPR ini berkaitan dengan redefinisi kembali tentang kedaulatan politik. Apakah rakyat sebagai pemilik kedaulatan itu, atau partai politik (parpol). Mustahil jika negara demokrasi tanpa parpol. Namun jika punya banyak parpol tapi negara itu tidak demokratis, tentu sebuah ironi. Parpol disebut mandataris dari sang empunya kedaulatan yaitu rakyat. Rakyat memilih parpol untuk mengatur dan menjalankan kekuasaan dan kekuasaan itu dilakukan dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Jika rakyat lapar, tidak sekolah karena berbiaya mahal, tidak tersedia lapangan pekerjaan tidak salah jika itu disebut tanggung jawab parpol. Karena kerja parpol melalui utusannya di lembaga kekuasaan adalah merumuskan kebijakan publik dengan maksud menyelamatkan nasib rakyatnya, tidak terbelenggu pada berbagai kesulitan. Itulah sebabnya parpol itu selalu identik dengan demokrasi.
Namun apa jadinya jika wujud parpol tidak tepat identik dengan demokrasi. Di Indonesia, dinamika parpol selalu identik dengan perjuangan para pemilik modal. Ada banyak cara yang kerap dilakukan, namun dalam tulisan ini akan saya batasi pada tiga modus.
Pertama, pembiayaan pemilik modal dalam pendirian parpol. Ada yang sekedar membantu pembiayaan pendirian parpol. Ada yang membiayai lebih dari satu parpol. Ada yang tidak melibatkan dirinya dalam struktur parpol dan ada pemilik modal yang membiayai sekaligus ikut menduduki struktur puncak parpol. Pembiayaan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pertama, pembiayaan untuk konsolidasi pembentukan pengurus, rekrutmen anggota dan pengadaan kantor. Kedua, pembiayaan untuk membeli badan hukum milik parpol lama (akuisisi) tapi tidak lolos verifikasi KPU dan atau tidak memenuhi persyaratan parlemen threshold pemilu.
Kedua, pembiayaan pemilik modal untuk mengintervensi kegiatan munas atau musda parpol. Pembiayaan meliputi tiga kategori. Pertama, membantu panitia membiayai pengeluaran kegiatan seperti hotel, transport peserta dan narasumber. Kedua, pembiayaan hanya khusus untuk mensponsori pemenangan calon ketua umum termasuk membeli suara pemilih dari daerah. Ketiga pembiayaan pemilik modal dalam memperebutkan jabatan tertinggi di parpol.
Ketiga pembiayaan pemilik modal pada kontestasi pemilu atau pilkada. Kebanyakan pembiayaan itu langsung diarahkan untuk sponsor pemenangan calon-calon tertentu.
Kepentingan Pemilik Modal
Pepatah lama menyebut no free lunch atau jika di-Indonesia-kan lazim disebut politik dagang sapi, tawar menawar untuk kepentingan yang saling memuaskan. Lantas apa kepentingan pemilik modal dalam bisnis politik ini.
Pertama, untuk kepentingan relasi dengan kekuasaan. Relasi ini akan memudahkan pemilik modal untuk mempengaruhi keputusan penguasa dengan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan usahanya. Pengaruh itu bisa saja kemudahan perijinan, mempengaruhi pasal-pasal yang mengatur tentang usaha baik dalam UU, PP maupun perda, penguasaan pengelolaan sumber daya alam di daerah serta memonopoli lelang tender (collusive tender).
Meski di lelang terbuka tapi ada pemilik modal yang memonopoli semua lelang bermodus penggunaan nama perusahaan yang berbeda tapi satu pemilik. Kebijakan parpol pengusung kepala daerah harus dari pengurus pusat bukan oleh pengurus daerah bisa jadi ada relevansi dengan kepentingan ini.
Faktor kedekatan pengusaha besar dengan penguasa mengakibatkan banyak pengusaha-pengusaha kecil yang terpaksa harus “sowan” ke pengusaha besar agar mendapat ijin usaha di wilayah-wilayah tertentu. Pengusaha-pengusaha besarpun harus menuntut kompensasi atas “jasa-jasanya” itu. Apalagi dalam hal persaingan usaha, ada dugaan para pengusaha pemodal politik kerap merekomendasikan perusahaan mana yang bisa beroperasi di daerah dan mana yang tidak.
Mengapa relasi Politik dan Bisnis terjadi
Relasi politik dan bisnis tumbuh subur di Indonesia disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor elektoral dan non elektoral.
Kelembagaan parpol dan sistem hukum pemilu kita masih perlu dibenahi. Perilaku pemilih di Indonesia masih cenderung irasional. Daya tarik pemilih untuk datang ke TPS sebagian besar masih dipengaruhi oleh faktor hadiah dari calon. Tanpa itu maka ada keengganan untuk memilih. Sehingga patut diduga bahwa tingginya partisipasi pemilih pada pemilu 2019 dan pilkada 2020 bisa jadi karena pengaruh uang suap dari calon.
Pada proses pencalonan sebagian parpol mewajibkan calon untuk menyerahkan uang pelicin atau mahar sebagai syarat untuk dicalonkan.
Uang suap pemilih dan mahar parpol menjadi penyebab pemilu dan atau pilkada menjadi mahal. Karena modal pembiayaan kampanye sangat mahal maka tindakan yang dilakukan oleh calon adalah mencari sponsor. KPK menyebut sebesar 82 persen calon pilkada 2020 dibiayai oleh sponsor.
Produk hukum pemilu juga belum terlalu ideal dalam menetapkan standar persyaratan khusus untuk menjadi calon pejabat publik. Demikian juga dengan produk hukum parpol. Kedua produk hukum itu tidak mewajibkan durasi waktu harus berapa tahun untuk menjadi kader lalu bisa dipilih menjadi ketua parpol atau untuk dicalonkan menjadi kepala daerah atau calon anggota legislatif. Ketiadaan norma itu menjadi pemicu kuatnya transaksi dalam pengambilan keputusan parpol. Kartu tanda anggota tidak diperoleh atas dasar reputasi dan dedikasi sebagai kader tetapi diperjualbelikan menjelang pendaftaran calon di KPU.
Dari aspek non elektoral, terjadi karena beberapa hal. Pertama, proses pengurusan perijinan usaha di sejumlah pemerintah daerah sangat sulit. Sulit karena dua hal yaitu pelayanan perijinan oleh birokrasi pemerintah yang berbelit-belit atau karena memang kriteria baku dalam perijinan memang sangat sulit. Hal ini menimbulkan frustasi bagi kalangan pengusaha. Sehingga cara yang paling muda adalah membuka akses pada penguasa daerah agar dapat diberikan kemudahan. Kedua, pengelolaan kekayaan sumber daya alam makin terbatas. Bukan terbatas karena kekayaan menipis tetapi pengelolaannya telah dikendalikan oleh banyak perusahaan. Sehingga terjadi kompetisi yang amat ketat antar pengusaha untuk memperebutkan pengelolaannya.