
MANADO – Derasnya terjadi perubahan zaman digital telah menggeser banyak aspek kehidupan manusia, termasuk cara berpikir dan beriman. Generasi muda gereja, khususnya Generasi Z dan Alpha, kini hidup dalam dunia yang sarat teknologi dan konten cepat. Di satu sisi, digitalisasi membuka peluang besar bagi penginjilan dan kreativitas pelayanan. Namun, di sisi lain, fenomen baru muncul yang oleh para psikolog disebut “brain rot” kondisi di mana otak mengalami kelelahan kognitif akibat konsumsi berlebihan terhadap konten digital yang instan dan dangkal (Harari, 2023).
“Brain rot” tidak hanya menyebabkan penurunan konsentrasi dan daya pikir kritis, tetapi juga mengikis kedalaman spiritual. Remaja gereja yang terbiasa dengan budaya “scroll” cepat dan “swipe” tanpa refleksi menjadi lebih sulit untuk berdiam diri, merenung, atau berdoa dalam keheningan. Akibatnya, kehidupan iman menjadi dangkal, serba instan, dan kehilangan makna pembelajaran rohani yang mendalam.
Ketika Digitalisasi Mengubah Pola Iman
Gereja hari ini tidak bisa menutup mata terhadap realitas digital. Banyak pelayanan remaja menggunakan Instagram, TikTok, dan YouTube sebagai wadah berbagi firman. Namun sebagaimana dikatakan oleh teolog Douglas Estes (2020) dalam The Questions of Jesus in John: Logic, Rhetoric, and Persuasive Discourse, digitalisasi iman dapat menumbuhkan “kekristenan yang instan” cepat menyentuh emosi, tetapi kurang menumbuhkan refleksi.
Fenomena ini sejalan dengan peringatan Rasul Paulus dalam Roma 12:2:
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah.”
Pembaharuan budi (renewed mind) menjadi tantangan iman di era digital mengembalikan fokus dari sekadar hiburan rohani menuju kedalaman relasi dengan Kristus. Gereja tidak dipanggil hanya untuk mengikuti tren digital, tetapi untuk mentransformasinya menjadi alat pembaharuan spiritual.
Tantangan Oikumene di Era Brain Rot
Fenomena brain rot bukan hanya problem personal remaja, melainkan juga tantangan bersama bagi gerakan oikumene gereja-gereja. Dalam dunia digital yang dikuasai algoritma danp engagement metrics, gereja-gereja mudah tergoda untuk berlomba-lomba menciptakan “konten rohani” yang viral, tanpa sadar kehilangan semangat oikumene sejati yakni kesatuan dalam kasih dan pelayanan (Konsili WCC, Faith and Order Paper No. 111, 1982).
Oikumene digital seharusnya tidak menjadi arena kompetisi antar denominasi, tetapi wadah kolaborasi lintas gereja dalam menciptakan ruang digital yang membangun iman dan kesehatan mental remaja. Gereja perlu menyadari bahwa dunia maya kini adalah medan misi baru (missio digitalis), di mana kerja sama lintas batas denominasi diperlukan untuk melawan budaya instan, narsistik, dan penuh distraksi.
Dalam konteks SAG SULUTTENG dan gereja-gereja lainnya, kolaborasi lintas sinode bisa diwujudkan melalui:
Kampanye literasi digital rohani membekali remaja agar mampu memilah konten yang membangun iman dan karakter.
Retret dan pelatihan lintas gereja menumbuhkan disiplin rohani seperti doa hening, refleksi, dan digital detox.
Platform oikumene digital bersama menggabungkan kekuatan media pelayanan lintas denominasi untuk menghadirkan kesaksian iman bersama.
Oikumene bukan sekadar berbagi mimbar, melainkan berbagi misi kasih Kristus di ruang digital yang sering kali membingungkan dan membanjiri remaja dengan konten tanpa arah.
Menuju Spiritualitas yang Sehat dan Bersama
Teolog oikumene Lesslie Newbigin (1989) pernah menegaskan bahwa tugas gereja adalah menghadirkan Injil dalam “bahasa zaman tanpa kehilangan makna kekal”. Artinya, gereja dipanggil untuk hadir dalam dunia digital bukan dengan cara dunia, tetapi dengan hikmat Kristus.
Pembina remaja perlu menuntun generasi muda agar memaknai teknologi sebagai sarana pelayanan, bukan pelarian. Remaja perlu dididik untuk berteknologi secara rohani menguasai gawai tanpa dikuasai olehnya. Di sinilah semangat oikumene mendapat bentuk baru: kolaborasi lintas gereja untuk melahirkan generasi yang berpikir jernih, beriman teguh, dan berelasi dengan Tuhan secara mendalam, bukan sekadar digital.
Yesus sendiri berdoa, “Supaya mereka semua menjadi satu” (Yohanes 17:21). Doa ini menjadi panggilan abadi bagi gereja di era algoritma: bersatu dalam kasih untuk melawan kelelahan mental dan rohani generasi muda.
Penutup
Fenomena “brain rot” adalah cermin dari budaya digital yang kehilangan arah makna. Gereja, sebagai tubuh Kristus yang hidup, dipanggil untuk menghadirkan alternatif: ruang pembelajaran iman yang menenangkan, bukan menekan; yang memperdalam, bukan mempercepat.
Ketika gereja-gereja bersatu dalam semangat oikumene digital, kita tidak hanya menolong remaja agar pulih dari kelelahan informasi, tetapi juga menuntun mereka menjadi pelopor “renewed mind”generasi pembawa terang Kristus di tengah dunia yang makin gelap oleh distraksi.
Digitalisasi, jika dikelola dengan hikmat dan kasih, bukan ancaman bagi iman remaja, melainkan ladang baru bagi kebersamaan umat Tuhan untuk menghadirkan Injil yang hidup dan relevan di tengah dunia maya. Untuk itu pembina remaja gereja harus siap atasi tantangan ini.