JAKARTA – Memiriskan, ternyata sampai saat Indonesia rupanya masih nyaman menjadi tukang racik obat. Padahal perusahaan obat biofarma dapat mengeksport obat ke 130 negara.
Situasi ini terjadi karena sampai saat ini 100 persen bahan baku obat masih tergantung dari import. Demikian salah satu faktu yang terungkap pada diskusi yang digelar Forum Aktivis Alumni Perhimpunan Per Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) di Jakarta beberapa waktu lalu.
Diskusi yang bertajuk “Darurat Farmasi : Melawan Pemalsuan Vaksin dan Obat berlangsung panas dan menarik, karena mengungkap beberapa fakta menarik. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menduga ada permainan mafia import obat di Indonesia.
Mafia ini mendatangkan vaksin palsu dari luar negeri yang harganya sama dengan vaksin asli. “Saya menduga ada mafia import vaksin palsu yang tidak diketahui keberadaannya selama 13 tahun. Tanggung jawab pemerintah adalah mencari siapa mafia ini.
Di sisi lain ada fakta yang memiriskan, dimana sampai saat ini industri obat kita 100 persen masih import,” ujarnya. Di sisi lain perwakilan Dokter Indoenesia Bersatu (DIB) menyoroti peredaran vaksin palsu sebagai akibat dari buruknya sistem kesehatan di Indonesia.
Negara di anggap gagal melindungi rakyatnya. “Kejadian ini akibat buruknya sistem kesehatan, negara telah gagal melindungi rakyatnya,” tandas Agung Sapta Adi. Terkait import bahan baku obat, YLKI dan Presidium FAA PPMI meminta pemerintah untuk segera membuat regulsasi baru dengan mengehntikan import.
“Hentikan import, itu salah satu bentuk mewujudkan kedaulatan farmasi dan pembenahan sistem kesehatan di Indonesia,’ ungkap Agung Ketua FAA PPMI.
Sayang, walau diskusi berlangsung menarik karena di hadiri berbagai pihak terkait seperti Tlus Abadi dari YLKI, Agung Sapta Adi dari DIB, Bahrain mewakili YLBHI dan Nur Suhud Komisi III DPR RI, pihak yang banyak di nantikan yaitu BPOM yang sebelumnya sudah mengkonfirmasi hadir ternyata tidak ada. Diskusi ini dipandu Jhony Sitorus aktivis pers kampus.(lrd)