Belum lama berselang saya berkunjung di salah satu keluarga. Sesampai di rumah tersebut, saya disuguhi “drama keluarga”. Sang bapak itu – sembari tangannya memegang rokok – menasihati anaknya supaya tidak merokok karena tidak baik untuk kesehatan dan pemborosan. Tentu saja nasihat itu itu tidak mempan, karena sang bapak tidak memberikan teladan yang baik. Saya menjadi ingat akan ungkapan dari Seneca (4 seb. M – 65 M), nana lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca berkata: Longum iter est per praecepta, breve et efficax exempla – “Melalui perintah jalannya panjang, melalui teladan jalannya pendek dan berdaya guna (efektif)”.
Berbicara tentang keteladanan – mau tidak mau – kita berpaling kepada tokoh yang bernama guru yang memiliki makna digugu lan ditiru (dipercaya dan diteladani). Ki Hadjar Dewantoro (1889 – 1959), mencetuskan gagasan tentang pengabdian seorang guru, “Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Tulodho atau teladan memiliki peranan penting dalam proses pendidikan.
Di pondok pesantren-pondok pesantren, kita bisa menyaksikan, betapa besar peranan sang kiai. Para santri yang nyantrék itu meneladan “sang guru” karena dirinya layak dihormati. Thomas Aquinas (1225 – 1274) berkata, “Kehormatan merupakan kesaksian tentang keutamaan orang yang dihormati dan karenanya hanyalah keutamaan yang merupakan dasar yang layak dari kehormatan.” Bahkan setelah santri itu mendapat gelar profesor akan memosisikan dirinya sebagai murid di hadapan sang kiai (Bdk. Komaruddin Hidayat dalam Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan). Keutamaan-keutamaan sang guru itulah yang pantas diteladani.
J. B. Banawiratma dalam Yesus Sang Guru, melukiskan peranan guru secara keseluruhan sehingga pantas menjadi teladan. Guru atau brahmana menjadi orang bertuah yang amat besar kekuasaannya. Kedaton memberi tugas istimewa kepada guru sebagai penasihat raja, pendidik, ahli kedaton, pujangga, ahli agama dsb. Tetapi di luar kedaton juga ada guru. Mereka itu adalah guru pertapa atau resi. Para pertapa meninggalkan hidup ramai, mengejar hidup sempurna. Guru-guru seperti itulah yang tentunya membuat para murid ingin “menggantungkan dirinya hidup dan mati” kepadanya.
Orang bisa menjadi fanatik dan pada zaman Soekarno, orang-orang dengan penuh keyakinan berkata, “Pejah gesang ndherek Bung Karno,” yang artinya: mati-hidup ikut Bung Karno. Tetapi ingat bahwa meneladan orang tanpa pengetahuan yang memadahi bisa berbahaya. Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam The Wisdom of Kahlil Gibran, “Ia yang mengulang apa yang tidak ia pahami tidaklah lebih baik daripada seekor keledai yang dibebani dengan buku-buku.” Meneladani seseorang juga perlu sikap kritis.
Ada sebuah adagium yang berbunyi, “Kita adalah apa yang kita pikirkan.” Dan pikiran kita itu begitu dahsyat dan pada gilirannya, pikiran itu akan terwujud dalam tindakan nyata. Para bintang film yang memerankan seseorang seperti dalam skenario, ia akan menjiwai tokoh yang dimainkan. Konon ceritanya, beberapa aktor kawakan kelas Hollywood seperti halnya Antony Quin (1915 – 2001 ) mengalami perubahan pribadi setelah memerankan sosok semacam Hamzah (± lahir 570/571 – ….) dalam film kolosal The Message.
Begitu pun aktor lain yang memerankan Saladin (1137/8 – 1193) ataupun Mahatma Gandi (1869 – 1948). Mereka menjadi lebih bijak dalam menjalani dan memaknai kehidupan. Tentu saja, para aktor itu selama proses pembuatan film merenungkan kehidupan sang tokoh yang penuh keutamaan, rendah hati, hidupnya mereka korbankan demi orang lain. Dalam tradisi kekristenan, kita kenal dengan buku klasik Imitatio Christi tulisan Thomas à Kempis (1380 – 1471). Inti dari buku tersebut adalah cara-cara meneladan Kristus secara radikal dengan meniru cara hidup-Nya.
Mungkin kita masih ingat film dengan judul, Soegija yang cukup menggoncang bioskop-bioskop XXI se-Indonesia. Ungkapan Latin, Verba movent, sed exempla trahunt – “Kata-kata memang dapat menggerakkan orang, namun teladan menarik hati” memiliki makna dalam diri Mgr. Albertus Soegijopranata SJ (1896 – 1963). Ia memberikan teladan dengan menunjukkan watak pembelaannya pada mereka yang terpinggirkan. Ia menempatkan dirinya sebagai yang paling terakhir mendapatkan makanan, kalau perlu bahkan tidak makan demi memberikan haknya kepada orang lain.
(Oleh: Markus Marlon)