Adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06 Tahun 2015 terkait pengetatan penjualan minuman beralkohol (Minol) mendatangkan berkah tersendiri bagi petani dan penampung Cap Tikus. Apa pasal ? permintaan minuman tradisional khas Minahasa itu meningkat drastis dari biasanya. Permintaan Cap Tikus datang dari Gorontalo dan Sulawesi Tengah.
Menurut salah satu penampung Cap Tikus di Motoling Timur yang enggan namanya disebut mengatakan bahwa pembatasan Minol oleh pemerintah sangat menguntungkan mereka karena pendapatan melonjak drastis. Menurutnya, hampir setiap hari ada yang datang membeli Cap Tikus dalam jumlah yang besar, dimana kebanyakan para pembeli datang dari daerah Gorontalo seperti Kwandang, Isimu, dan Kota Gorontalo , serta dari daerah Sulawesi Tengah seperti Parigi, Palu, Kotaraya. Bahkan ada juga yang akan dijual ke Kalimantan.
Dijelaskan sumber yang sudah bertahun – tahun menggeluti bisnis penampungan Cap Tikus tersebut bahwa yang menarik kebanyakan yang datang membeli adalah oknum TNI dan oknum aparat kepolisian sehingga walaupun ada razia atau sweeping di jalan, bisa dipastikan lolos dalam pemeriksaan sehingga mereka bisa menjual juga secara bebas didaerah masing – masing. Sumber menambahkan permintaan yang tinggi hampir 40 persen namun sering tidak mencukupi karena terbatasnya produksi dari petani.
Harapan Penampung Cap Tikus
Sudah bertahun – tahun menggeluti bisnis Cap Tikus memang berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga. Menurut sumber yang merupakan salah satu penampung terbesar di daerah Motoling Timur ini bahwa banyak petani cap Tikus bisa menyekolahkan anak mereka sampai perguruan tinggi. “ Saat ini harga per galon berada di kisaran Rp 200.000 – Rp 250.000 mengikuti jumlah kadar yang diinginkan”, ucap sumber. Dirinya berharap Cap Tikus yang merupakan minuman khas tradisional minahasa ini bisa diakui oleh pemerintah karena mampu meningkatkan perekonomian masyarakat.
Sementara itu Jenry Mandey, pemerhati sosial kemasyarakatan mengatakan bahwa sudah seharusnya Cap Tikus dilegalkan. Karena perlu diingat bahwa Cap Tikus sudah ada sebelum Negara ini berdiri dan menjadi budaya Minahasa. “Peminatnya bukan juga dari Minahasa tapi dari luar daerah banyak membelinya”, ujar Mandey yang juga bergelut di usaha Cap Tikus.
Mandey menjelaskan bahwa pemerintah provinsi Sulut sudah sepatutnya melegalkan Cap Tikus dan dengan membuat merek dagang serta dikemas secara baik dan juga dilakukan pengawasan karena bukan tidak mungkin dalam menyambut Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2016, Cap Tikus bisa menjadi icon untuk mendatangkan PAD bagi daerah. “Sangat disayangkan jika tidak ada legalitas, maka hanya akan menjadi ATM dari oknum aparat dan imbasnya kepada penampung dan petani cap tikus”, ucap Mandey. Oleh sebab itu, Mandey menuturkan pihaknya akan berupaya agar Cap Tikus bisa dilegalkan.”Mari bersama dukung #SaveCapTikus di Sulut”, tutup Mandey (red)