Ada seorang ibu muda yang pagi-pagi sudah marah-marah. Pagi itu, ia mengurus anak-anaknya untuk siap-siap sekolah (memandikan anak, membantu mengenakan pakaian seragam, menyiapkan makanan) sembari mendengar berita tentang korupsi dan pembunuhan di stasiun TV swasta. Ia pun kemrungsung (tergesa-gesa) dan seolah-olah berkejar-kejaran dengan waktu.
Ketika ibu itu siap menghantar ke sekolah tepat di muka jalan hendak memasuki jalan protokol, tiba-tiba ada mobil yang melambung dengan kecepatan tinggi. Dengan ganasnya ia pun berkata, “Seeeh! Kurangajar betul sopir itu, semoga kesamber bledhek (kesambar petir)!”
Di pagi yang cerah-indah, yang seharusnya dinikmati dengan penuh syukur, ia malahan dibebani dengan rasa marah, tergesa-gesa dan kelelahan lahir-batin. Situasi yang amat melelahkan itu sekonyong-konyong dirinya “dilempari” batu-batu yang tidak mengenakkan.
Dalam hidup ini, kita banyak sekali mendapati peristiwa dan kejadian – baik yang sengaja maupun yang tidak sengaja – yang ditimpakan kepada kita. Hal ini memang tidak kita kehendaki, tetapi ternyata datang juga, bagaikan “tamu yang tidak kita undang.” Namun kita harus realistis sebab setiap saat, pelempar itu – cepat atau lambat – datang kepada kita.
Dalam zaman Perjanjian Lama maupun dalam film-film kolosal klasik (misalnya film Jengis Khan, atau Sun Tzu), kita bisa menyaksikan ketika musuh menyerang sebuah kota, prioritas pertama mereka adalah membongkar batu-batu tembok yang melindungi kota itu. Mereka kemudian akan melemparkan batu-batu itu ke dalam sumur-sumur kota. Para penyerang tersebut tahu bahwa jika mereka bisa menyumbat sumur-sumur tersebut dengan batu-batu dan mengganggu aliran air, akhirnya orang-orang dalam tembok kota itu akan keluar.
Dalam hidup ini, kita pun memiliki “sumur sukacita” dan “sumur damai sejahtera” serta “sumur pikiran-pikiran yang positif.” Namun yang terjadi sering kita membiarkan para pelempar itu menyumbat “sumur-sumur” kita. Mungkin seseorang berbicara dengan merendahkan kita. Kita bereaksi dan menjadi marah. Kemudian dalam hati ada niat, “Aku akan membalas dendam dan biarlah aku memberitahukan kepada khayalak ramai tentang apa-apa yang kuketahui tentang mereka.”
Selama ada kehidupan di dunia ini, yang namanya “pelempar” itu akan selalu ada. Lihat saja, gossip merebak dengan cepatnya. Gossip – menurut Shakespeare ( 1564 – 1616) – datang bukan seperti mata-mata melainkan satu battalion. Satu gossip belum selesai disambung dengan gossip yang lain. Melelahkan. Kata-kata pedas dari seorang teman, rekan kerja bagaikan “batu” yang menyumbut “sumur-sumur” seperti: ketenangan batin, kegembiraan dan kesejahteraan.
Ada seorang yang suka mbanyol dan tentunya disenangi banyak orang. Tetapi ada seorang yang tidak suka dengan si tukang mbanyol itu. Dilemparlah orang tersebut dengan kata-kata sinis. Dan mulai saat itu, si tukang mbanyol yang disenangi teman-temannya itu menjadi pendiam dan murung-murung. Seharusnya ia berani “mengebaskan kaki” dan meninggalkan orang tersebut. Dalam Injil kita membaca, “Dan apabila seorang tidak menerima kamu dan tidak mendengar perkataanmu, keluarlah dan tinggalkanlah rumah itu atau kota itu dan kebaskanlah debunya dari kakimu” (Bdk. Mat 10: 14). Dalam hal ini kita bisa bercermin pada Eleanor Roosevelt (1884 – 1962). Ia adalah satu-satunya wanita yang pernah tinggal di Gedung Putih yang memunyai sahabat setia paling banyak tetapi juga memunyai musuh jahat yang terbanyak pula.
Berbicara tentang “pelempar” dia berkata, “Saya sama sekali tidak menganjurkan untuk membiarkan atau tidak memedulikan begitu saja kritik-kritik yang dilontarkan kepada Anda. Sama sekali tidak. Yang saya perbincangkan ialah tentang membiarkan “pelempat” atau kritik yang tidak pada tempatnya.” Roosevelt telah mengikuti ajaran Yesus supaya berani “mengebaskan debu” yang tidak pada tempatnya.
Kita ini “dilempari” dengan “batu-batu iri hati dan dengki” karena kita memiliki potensi. Tidak ada yang menendang anjing mati (Bdk. Dale Carnegie dalam bukunya yang berjudul Petunjuk Hidup Tentram dan Bahagia hlm. 299). Coba jika hidup kita di dunia ini hanya tenang-tenang saja, ikut arus, tidak punya semangat apa pun juga dan hanya menggantungkan hidup kepada orang lain, tentu tidak ada orang yang “melempari” kita. Namun, semakin penting diri kita, semakin banyak “pelempar” atau semakin tinggi pohon, semakin banyak angin yang ingin merobohkannya.
Pangeran Wales dari Inggris yang kemudian menjadi Raja Edward VIII (sekarang Duke of Winsor) mengalami sendiri kenyataan itu. Pada waktu itu ia masuk sekolah Dartmouth College di Devonshire, suatu Akademi Angkatan Laut.
Ketika sang pangeran berumur empat belas tahun, ia menangis sesenggukan. Ketika ditanya ia tidak mau menjawab. Tetapi akhirnya ia mau juga menceriterakan apa yang sebenarnya terjadi. Pangeran Wales ditendang dan disepaki oleh para kadet. Komodor yang memimpin akademi itu kemudian memanggil seluruh kadet dan memberitahukan bahwa Pangeran tidak akan menuntut apa-apa.
Setelah diadakan interogasi dan pemeriksaan bertele-tele, akhirnya para kadet mengaku juga. Mereka mengatakan bahwa nantinya apabila mereka sudah menjadi komandan dan kapten di dalam Armada Angkatan Laut Kerajaan, mereka bisa berkata dengan bangganya bahwa mereka pernah menendang atau menyepak sang Raja! (Dikutip dari Buku yang berjudul: Petunjuk Hidup Tentram dan Bahagia tulisan Dale Carnegie, hlm. 300).
Nah, selama hayat masih dikandung badan, yang namanya “pelempar” itu akan selalu ada. Para “pelempar” itu sengaja maupun tidak sengaja hendak menyakiti hati kita. Kita tidak perlu membalas lemparan itu. Balas saja dengan senyuman. Roosevelt pernah berkata, “Orang-orang itu tidak bisa menyakiti hatiku tanpa seiinjinku.” Ajahn Bram (Lahir di London: 7 Agustus 1951) dalam bukunya yang berjudul Horee Guru Si Cacing Datang menulis, Untuk menghadapi pelempar, pemecahannya gampang saja,“Acknowledge, forgive, let go,” Untuk itu santai saja-lah!! Gak usah dipikir. Sayang energi kita terbuang-buang percuma. (Oleh: Markus Marlon)
Kontemplasi Peradaban. Selasa, 11 Juni 2013