Oleh: Ventje Jacob (Pemerhati Sosial Kemasyarakatan)
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md telah resmi melarang kegiatan yang mengatasnamakan organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam atau FPI. Pengumuman Menkopolhukam tersebut diikuti dengan “Maklumat Kapolri” menonaktifkan kegiatan Ormas FPI dalam bentuk apapun.
Berita Lainnya
Menkopolhukam memerintahkan kepada aparat pemerintah baik pusat maupun daerah, jika ada organisasi yang mengatasnamakan FPI itu harus ditolak, karena legal standing-nya tidak ada, terhitung hari ini, tanggal 30 Desember 2020. bukan hanya FPI, tapi ada sejumlah ormas lain yang juga sudah dibubarkan oleh pemerintah. Pada 2017 silam, seperti halnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Saat itu, Pemerintah memastikan kegiatan yang dilaksanakan ormas HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sehingga ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keormasan.
Aktivitas HTI dikatakan pemerintah nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan NKRI. Mencermati berbagai pertimbangan serta menyerap aspirasi masyarakat, pemerintah perlu mengambil langkah–langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI,” kata Wiranto saat menjabat Menko Polhukam Wiranto saat itu pada tanggal 8 Mei 2017. Namun, jauh sebelum itu pada sekitar 2014 lalu, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir juga dibubarkan pemerintah.
Berikut deretan ormas yang dibubarkan pemerintah selain FPI karena diduga tak sesuai dengan UUD 1945 atau pun Pancasila adalah:
1. Jamaah Islamiah (JI)
2. Hizbut Tahir Indonesia (HTI)
3. Jamaah Ansarut Tauhit (JAT)
4. Majelis Mujahidin Indonesi (MMI)
5. Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS)
Menrut Menkopolhukam dan Kapolri bahwa pembekuan kegiatan-kegiatan organisasi ini dikarenakan banyak menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat. FPI terkadang bertindak melebihi kewenangan institusi kepolisian sebagai institusi yang dipercayakan oleh negara menjaga keamanan negeri ini. FPI sering mengintimidasi dan memaksakan kehendak mereka kepada orang lain, hal ini jelas-jelas salah.
Pemerintah melalui Menkopolhukam dan Kapolri memastikan kegiatan yang dilaksanakan ormas FPI beserta organisasi-organisasi lainnya terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sehingga ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Aktivitas FPI dikatakan pemerintah nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan NKRI.
“Mencermati berbagai pertimbangan serta menyerap aspirasi masyarakat, pemerintah perlu mengambil langkah–langkah hukum secara tegas untuk membubarkan semua Ormas yang melanggar UUD 1945 serta melanggar Undang-undang Keormasan. Keputusan ini diambil bukan berarti Pemerintah anti terhadap ormas Islam, namun semata-mata dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan NKRI.
Organisasi masyarakat yang berbasiskan nilai-nilai keagamaan dan budaya seperti halnya FPI sebenarnya bisa menjadi benteng terhadap nilai-nilai budaya yang datang dari luar di era digital saat ini untuk tetap menjaga nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia selama ini. Kenapa Muhammadiyah, NU, dan ormas lainnya sangat berperan membantu pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan RI, sementara FPI dan kawan-kawannya, justru banyak menimbulkan kegaduhan.
Muhamadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) Sangat berperan sekali membangun karakter, nilai-nilai keadaban, nilai-nilai keindonesiaan, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai budaya yang sudah kita miliki selama ini. Presiden Joko Widodo pernah mengatakan pada saat menutup Pengkajian Ramadan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Tahun 2018 bahwa; “Nilai-nilai dan karakter yang dimiliki bangsa Indonesia selama ini dapat menjadi benteng terhadap intervensi dari luar. “Jangan sampai yang berkaitan dengan budi pekerti, sopan santun, keramahan kita menjadi hilang gara-gara terpengaruh oleh era digital yang telah masuk ke negara kita”. Presiden mengakui era digital memiliki dampak positif dan negatif. Positifnya ialah sebagai media untuk berdakwah langsung kepada umat, sedangkan negatifnya digunakan sebagai media untuk mencela, mencemooh, dan menyampaikan hal-hal buruk. “Semua kepala negara yang bertemu dengan saya me-ngeluhkan hal yang sama. Inilah pentingnya kita memiliki adab dalam bermedia sosial, pentingnya kita memperkuat nilai-nilai agama, budaya. Norma-norma agama, norma budaya, terus kita perkuat.”
Organisasi ialah salah satu wadah yang bisa menjaga eksistensi nilai-nilai kebangsaan tersebut. Di era globalisasi saat ini, bangsa ini harus pandai menyaring budaya-budaya yang datang dari luar. “Budaya yang ada di Nusantara harus kita bentengi yang tidak bertentangan dengan ajaran agama kita. Kalau ada budaya baru yang masuk karena ada globalisasi, kita harus saring, mana yang bisa kita terima, mana yang kita tolak. Pakar psikologi politik UI, Hamdi Muluk, menilai keberadaan ormas dalam negara demokrasi merupakan keniscayaan. Namun, mereka harus mempunyai sinergi positif dengan pemerintah dalam mewujudkan pembangunan. “Peran ormas harush bermanfaat di masyarakat, terutama karena jangkauannya luas sehingga bisa menghasilkan solusi bagi bangsa.