Natal tahun 2011, saya diajak makan di salah satu Rumah Makan di Tinoor, Jl. Manado – Tomohon. Menu favorit “tikus ekor putih” yang memang tiada duanya nikmatnya itu, habis kami santap. Tiba-tiba ada seseorang yang berkata demikian, “Ini ada orang Gunungkidul yang setiap hari makan ungkrung (kepompong) dan belalang. Jijik ah!” Tentu saja kata-kata itu ditujukan kepada saya dan saya pun merasa terhina. Kemudian dalam hati saya berkata, “Obtrectare alteri quid habet utilitatis?” – mengecilkan orang lain apa sih faedahnya?
Pelbagai cara orang menghina sesamanya. Ada yang menghina bentuk fisik, keluarga besar, masa lalu, kemampuan, keyakinan dan masih banyak lagi. Dan jika pihak yang dihina tidak terima bisa melapor ke polisi dengan alasan pencemaran nama baik. Penghinaan yang dilakukan seseorang juga bisa berujung dendam seperti yang dilakukan Drona terhadap Drupada atau Dursasana terhadap Drupadi dalam Mahabaratha. Perasaan terhina itu bisa dibawa sampai mati dan akibatnya Drona menghalalkan segala cara untuk membalas dendam. Orang bisa terhina karena dimaki-maki di muka umum, yang dalam pepatah Latin berbunyi: argumentum ad hominem dan pihak korban berkata, “Mau ditaruh di mana mukaku?”
Belum lagi pencemaran agama, misalnya pencemaran hosti. Ini penghinaan bagi orang yang memiliki keyakinan Kristen Katolik dan ini mengakibatkan, orang-orang yang tidak pernah masuk Gereja pun bisa membabi buta hendak menghabisi pelaku penghinaan keyakinannya. Mereka lupa bahwa para pengikut Kristus itu sudah biasa untuk dihina. Cyrus Shahrad dalam Rahasia-Rahasia Vatikan menulis, “Pada tahun 65, Nero (37 – 68) – lengkapnya Nero Claudius Caesar Augustus Germanicus – dilaporkan duduk di atas bukit Quirinal sambil memainkan lira dan bernyanyi, sementara kota terbakar selama enam hari nun jauh di bawah bukit. Ia kemudian menyalahkan pengikut Kristus sebagai penyebab kebakaran itu. Umat Kristen kemudian dibantai secara massal oleh Nero.
Sejumlah orang dilumuri lilin disulakan pada tiang-tiang dan dibakar untuk menjadi obor dalam pesta-pesta kebun. Kemudian Nero berkata, Sekarang kau sungguh-sungguh menjadi terang dunia, lux mundi!” Dalam khotbah di bukit, Yesus sendiri bersabda, “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat” (Mat. 5: 11).
Kehidupan Fransiskus Asisi (1181/1182 – 1226) penuh dengan hinaan karena pilihan hidupnya. Buku berjudul St. Fransiskus dari Asisia yang ditulis oleh seorang saudara dina, melukiskan bagaimana sejak dirinya memutuskan untuk hidup miskin, dirinya dicerca dan dihina, termasuk oleh bapanya sendiri yang bernama Pietro Bernardone. Dalam kisahnya, Fransiskus sering dikutuki oleh ayahnya. Suatu kali, ia minta ditemani oleh pengemis tua yang disuruh memberkatinya setiap kali dikutuki oleh bapaknya yang bengis itu, “Lihat!” kata Fransiskus kepada bapaknya, “Tuhan menganugerahi saya seorang bapak yang memberkati saya bila saya dikutuki.”
Dalam sejarah Islam, kita tersentak dengan perjuangan kaum Muhajirin. Penghinaan dan penganiyaan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy tidak saja ditujukan kepada pengikut Nabi Muhammad SAW, namun juga ditujukan kepada para sahabat terkemuka yang dahulunya memiliki pengaruh di kalangan kaum Quarisy. Lemparan batu, kotoran unta bahkan kotoran manusia sudah tidak aneh lagi dirasakan oleh umat Islam saat itu. Meskipun begitu, Rasulullah SAW selalu menasihati untuk selalu bersabar, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” Demikian sabda sang Nabi (Bdk. Pendidikan Agama Islam untuk SD kelas VI).
Kutukan, hinaan, cercaan tidak membuat Fransiskus mundur. Hinaan itu, ibarat orang yang melemparkan batu bata kepada seseorang. Batu bata-batu bata itu tidak dilemparkan kembali sebagai balas dendam, tetapi malah dijadikan tembok. BJ Habibie menulis, “Ketika seseorang menghina kamu, itu adalah sebuah pujian bahwa selama ini mereka menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan kamu, bahkan ketika kamu tidak memikirkan mereka.” Hinaan dan kritik negatif yang ditujukan kepada seseorang selayaknya diolah, sehingga tidak mematahkan semangat. Lihatlah apa yang telah dibuat oleh Fransiskus Asisi.
Olok-olok dan hinaan rupanya tidak mempan bagi pribadi-pribadi yang kuat. Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam Tears and Laughter menulis, “Olok-olok adalah lebih pahit daripada pembunuhan” dan imbuhnya, “Yerusalem tidak dapat membunuh Yesus dari Nazaret itu atau Socrates dari Atena itu; mereka masih hidup dan akan hidup kekal. Olok-olok takkan menang atas para pengikut Ilahi. Mereka hidup dan tumbuh selamanya!”
Oleh: Markus Marlon