Manado, mo bilang maju mar mundur, mobilang mundur mar maju. Itu yang dapat saya gambarkan tentang kota Manado yang kucintai ini. Kota Manado yang terletak di propinsi paling utara Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sudah berusia 389 tahun. Sebuah kota yang penduduknya didiami dari berbagai suku, dan agama membuat kota multi kultur ini menjadi panutan bagi kota-kota lain di Indonesia. Sepuluh tahun terakhir kota Manado sering menjadi tuan rumah event bertaraf internasional, sebut saja World Ocean Conference dan CTI Summit, dan beberapa event lainnya. Pertumbuhan ekonomi masyarakat Manado bisa dikatakan baik, terlihat dari macetnya jalan-jalan di kota Manado karena semakin banyak keluarga yang memiliki kendaraan pribadi.
Pusat-pusat perbelanjaan begitu cepat bertumbuh, hotel-hotel, apartemen dan gedung bertingkat mulai menghiasi kota tinutuan ini. Dengan akses transportasi udara yang semakin baik lebih memacu nadi pertumbuhan kota Manado. Pusat-pusat hiburan bertebaran di mana-mana, konser musik dari artis-artis kenamaan ibu kota mulai sering dilangsungkan, tanggal 19 Mei mendatang Cherrybelle konser di Manado.
Pembangunan infrastruktur telekomunikasi digenjot oleh pihak swasta maupun pemerintah. Jalan-jalan utama di kota Manado mulai dilebarkan, penghargaan Adipura pun menjadi langganan tetap kota yang dipimpin oleh pasangan Walikota dan Wakil Walikota, Ir. GS Vicky Lumentut, S.H, M.Si, D.E.A dan Harley Mangindaan ini.
Namun di sisi lain kota Manado bagaikan mundur ke belakang. Antara masyarakat dan pemerintah, semua memegang peranan atas kemunduran kota Manado. Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis tentang sisi manado yang caparuni, perilaku sebagian masyarakat yang seenaknya dan tidak mau menjaga lingkungan mengakibatkan sampah menumpuk di muara sungai. Demikian juga pemerintah yang sepertinya saling melempar tanggung jawab, antara kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kota, tentang bagaimana menangani sampah di berbagai lokasi di kota Manado.
Belum lagi masalah drainase kota yang amburadul. Ketika saya terjebak hujan di daerah Tuminting, belum 1 jam hujan turun, jalanan sudah mejadi sungai. Terjadi banjir lokal di ruas jalan sepanjang kurang lebih 500 meter. Jika seperti ini terus dan tidak dipikirkan solusi tepat untuk mengatasi kacaunya sistem drainase kota, maka ratusan juta bahkan miliaran rupiah yang dikucurkan untuk pembangunan gorong-gorong dan pengaspalan jalan akan menguap percuma. Belum lagi di ruas jalan Sam Ratulangi dan jalan Piere Tendean (Boulevard). Koordinasi antara pemerintah kota, provinsi, dan pusat, sepertinya tersumbat.
Bagaimana pemerintah menggembor-gemborkan tentang Proyek investasi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang begitu besar sedangkan masalah jalan dan drainase saja belum tuntas. Manado, mo bilang maju mar mundur, mobilang mundur mar maju, itulah yang dapat saya suarakan melalui media ini.