Berita Lainnya
Lingkungan adalah tempat tinggal dari manusia. Lingkungan juga adalah tempat tinggal tinggal atau rumah bagi semua mahluk hidup. Dalam kenyataannya kini, lingkungan telah menjadi rusak dan kotor, karena tindakan yang dilakukan oleh manusia, yang merupakan ciptaan Tuhan yang paling luhur dari semua ciptaan. Melihat realitas ini, seakan akan lingkungan tidak lagi menjadi sahabat bagi manusia, dimana kecenderungan manusia yang hanya mengejar kepentingan sesaat saja, tanpa memikirkan prospek hidup kedepan demi melestarikan dan mewujudkan lingkungan yang bersih, demi generasi berikutnya.
Kini, panggilan luhur ada ditangan manusia, untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan indah, demi mengapai hari esok yang lebih baik, dengan peduli dan respek pada lingkungan hidup.
Sebuah pertanyaan awal hendak yang diungkapkan disini mengapa lingkungan semakin rusak? Siapakah yang menyebabkan kerusakan itu, dan siapa pula yang bertanggung jawab atas rusaknya lingkungan ini ? Pertanyaan seperti ini bukanlah pertanyaan yang baru, namun pertanyaan ini adalah pertanyaan yang terus berlanjut diabad 21 ini. Lantas bagaimana menyikapi dan menanggapi pertanyaan ini? Sadarkah, bahwa alam tempat tinggal kini makin rusak? Bumi semakin panas, banjir sering terjadi dimana mana, banyak pencemaran yang terjadi baik itu terjadi lewat udara, air, dan tanah; semua ini adalah masalah yang menimbulkan dampak negatif yang luar biasa bagi lingkungan. Kecenderungan hidup manusia yang tidak ramah lingkungan serta tindakan eksploitasi alam yang dilakukan berlebihan telah membuat alam ini terluka dan rusak. Akibat dari rusaknya lingkungan hidup dapat dilihat dengan terjadinya kesenjangan atau ketidakadilan pada alam atau lingkungan hidup itu sendiri. Pertanyaan lain lagi muncul, apakah cara pandang dan sikap manusia yang salah terhadap alam, sehingga alam mengalami kerusakan?
Pemahaman dan cara pandang orang terhadap lingkungan hidup memengaruhi sikap mereka dalam memperlakukan alam. Alam seringkali hanya dilihat sebagai objek, atau sarana untuk memenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia itu sendiri. Dalam hal ini alam hanya bernilai sejauh ia menunjang dan memberikan kontribusi bagi kepentingan manusia. Konsep demikian dapat dikatakan sebagai konsep yang keliru dan terkesan hedonis dimana alam hanya dijadikan sasaran kebutuhan sesaat tanpa ada konsepsi futuristik bahwa alam yang ada ini adalah juga milik untuk generasi mendatang, bukan hanya untuk dinikmati dan eksplorasi secara semasa tanpa melihat efek efeknya bagi masa depan bumi. Dengan pandangan yang seperti itu telah menghasilkan sikap manusia yang tidak bersahabat lagi dengan alam.
Lalu, bagaimanakah pandangan (orang Kristen) terhadap alam atau lingkungan hidup? Merujuk Kitab Suci sebagai sumber nilai hidup, Kitab Suci mengajak manusia memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ciptaan Allah lainnya, termasuk alam atau lingkungan hidup. Pertanyaaan sentral yang kini muncul lagi, apakah manusia masih peduli pada lingkungan hidup? Lingkungan atau alam semesta, adalah tempat tinggal dari berbagai ciptaan Allah dan termasuk manusia didalamnya. Lingkungan yang ditempati telah memberi begitu banyak kebutuhan bagi makhluk hidup, terlebih kepada manusia, sebagai ciptaan Allah yang paling luhur. Manusia dan alam semesta, diciptakan Allah untuk hidup secara berdampingan dan mempunyai hubungan keterkaitan satu sama lain. Allah yang telah menciptakan lingkungan sebagai sebuah oikos (rumah) atau tempat untuk didiami dan diusahakan manusia sebagai ciptaan Allah yang memiliki akal budi (rasio), dengan cara bertanggung jawab dan hormat dengan mengusahakan alam semesta ini secara; arif, bijaksana, ramah, dan bermoral. Manusia hendaknya menjaga dan menghormati ciptaan Allah itu bukannya menjadi perusak (destroyer), atau memiliki kecenderungan destruktif terhadap lingkungannya sendiri.
Manusia dapat dikatakan sebagai “pemeran utama”, dalam panggung dunia ini. Manusia adalah tokoh pemeliharan lingkungan hidup, dari bahaya kerusakan yang makin menjadi-jadi, akan tetapi manusia telah dengan keliru dan bahkan juga lupa akan tugasnya yang hakiki yaitu memelihara keberlangsungan lingkungan hidup, serta berkewajiban menciptakan stabilitas kehidupan lingkungan yang ideal. Keselamatan lingkungan dari kehancuran berada ditangan manusia sendiri. Peran yang diberikan sebagai pemelihara, kini telah bergeser pada bentuk keserakahan manusia dalam mengelolah lingkungan dan juga kekayaan bumi, tanpa ada perhitungan akan masa depan nanti. Konsep yang keliru ini menyebabkan diri manusia menjadi rapuh dan manusia harus menyadari dirinya sebagai “Imago Dei”, sebagai gambar Allah atau wakil Allah, sehingga keterwakilan manusia ini hendaknya digunakan sebagai anugerah dan amanat dari Allah, yaitu dengan membangun kesadaran, kepedulian dan kecerdasan akan lingkungan. Sungguh sangat mencemaskan dan memprihatinkan, ketika konsep perintah Allah dalam kitab Kejadian 1:28, yaitu, “Perintah untuk menguasai” telah dianalogikan secara salah dan keliru. Perintah penaklukan atas bumi ini, semesti diartikan bukan sebagai, “penundukan semena-mena”, atas ciptaan yang lain. Perintah “menguasai”, punya maksud seakan-akan, mendorong dan mengajak manusia untuk dengan sesuka hati (semau gue) merusak lingkungan, termasuk didalamnya tanah yang menjadi komponen penting bagi kehidupan mahkluk hidup yang hidup diatasnya.
Kini manusia, sudah terperangkap atau terjebak dalam suatu konsep yang mempesona tentang “kuasa” dan “penaklukan” hal ini memberi kesan bahwa manusia menjadi makhluk yang rapuh, karena kebebasan yang diberikan Allah telah disalah gunakan dan disalah artikan. Manusia diciptakan untuk menjadi partner Allah, untuk menjaga lingkungannya, kini telah berubah menjadi individu yang tidak lagi berpihak pada lingkungan. Tangan yang dikaruniakan Allah untuk bekerja telah beralih fungsi menjadi simbol perusak alam yang otoriter dan menjadi pencipta kesenjangan pada alam. Tangan yang dianalogikan sebagai pekerja yang terampil dan berbudi telah menjadi penggarap yang penuh kesombongan dan pada akhirnya menjadikan manusia serakah. Manusia yang hidup dalam zaman ilmu pengetahuan modern, kini telah menjadi tamak, terhadap eksistensi bumi. Manusia kurang menghormati martabat mahluk hidup lainnya dan cenderung bersikap arogan.
Ditengah krisis lingkungan hidup saat ini, tokoh reformator rohani yang sederhana dan saleh, yang hidup pada abad ke-13, tumbuh dalam Gereja, dia adalah, St. Fransiskus dari Assisi. Ia oleh Paus Yohanes Paulus II, pada tanggal 29 November 1979, diangkat sebagai pelindung dan pelestari Lingkungan hidup. Kerukunan dan kesejukan batin FransiskusAssisi ini nampak dalam tingkah lakunya terhadap alam, kekagumannya akan keindahan dan keajaiban penciptaan, serta sikapnya yang baik terhadap alam menunjukan keterbukaan dan kesediaan diri manusia untuk keluar dari egoisme, keinginan untuk menonjolkan diri, dan keinginan untuk berkuasa. Sehingga kedekatannya dengan alam semesta dan segala ciptaan secara khusus dapat disimak dalam kidung rohaninya, Gita Sang Surya, yang menampakan persaudaraan dan persahabatan akrabnya dengan mahluk ciptaan Tuhan, sehingga ia menyapa segala kenyataan dengan julukan saudara dan saudari.
Belajar dari St. Fransiskus dari Assisi, sebagai teladan dalam mewujudkan alam yang bersih dan tidak kotor, bebas dari sampah plastik dan memulai sebuah langkah jitu dan bijak yakni dengan menghijaukan lingkungan sekitar tempat tinggal dengan gerakan Go Green, yang dapat menjadi sebuah langkah bijak dalam menekan kerusakan lingkungan seperti efek pemanasan global, memberikan kesejukan pada alam, dengan menanam pohon disekitar lingkungan dengan maksud dapat menekan panasnya sengatan matahari. Inilah sebuah langkah yang cerdas demi membenahi hari esok dengan lebih baik, lebih berwawasan ekologis dan menjadi mitra yang baik dengan alam sebagai sahabat manusia. Inilah saatnya menyelamatkan bumi kita ini dari kehancuran dengan menata serta melestarikan sistim alam yang telah rusak dan tak teratur lagi, dengan menjadi Stakeholder, yang punya living Values, atau punya nilai-nilai kehidupan. Saat ini manusia (kita), dipanggil membenahi lingkungan kita sendiri dengan secara lestari dan bertanggung jawab, sehingga gambaran sebagai manusia Imago Dei, atau Citra Allah benar-benar dimiliki oleh setiap manusia. Sebagai orang yang beriman, iman akan penciptaan oleh Tuhan akan mewarnai pandangan dan sikap seseorang terhadap seluruh ciptaan Tuhan.
Sehingga melalui pandangan ini akan menghantar kita pada pujian : “Ya Tuhan, Tuhan kami betapa mulia nama-Mu diseluruh bumi.(bdk., Mzm.8:2). Kini tawaran untuk membenahi hari esok ada dihadapan kita sebagai penghuni bumi. Pun tawaran ini adalah sebuah bentuk penghormatan kita akan alam yang telah memberi banyak bagi manusia, serta sebagai proses menopang ketahanan produk pangan bagi milyaran manusia di planet ini. Jadi, semestinya manusia bukan hanya menjadi ramah, tetapi juga peduli akan rumah kita ini, sebagai tempat untuk manusia memperkembangkan citra diri sebagai insan yang diciptakan Tuhan untuk menjadi penjaga dan pelindung alam, serta menjadi sahabat manusia yang saling memberikan keuntungan (simbiosis mutualisme), demi mengapai dan merenda hari esok yang baik, dan mempersiapkan tempat yang baik dan indah bagi generasi berikutnya. Sebuah slogan kiranya menjadi sebuah ajakan dan pedoman yakni ; menebang 1 pohon dan mengganti dengan 100 pohon. Sehingga ajakan kitab suci dalam Kej 1:26-27 adalah sebuah pesan persaudaraan yang tereksplisit dalam sikap yang menjunjung tinggi ciptaan Tuhan dengan menjadi rekan kerja Allah dan dapat berkolaborasi dengan-Nya untuk menjalin persaudaraan semesta dengan ciptaan lain. Tuhan yang maha adil telah membekali manusia dengan kemampuan untuk bekerja dengan –Nya. Sehingga manusia perlu mengembangkan perhatian dan melakukan pembaharuan sikap sebagai mahluk sosial, selagi manusia benar benar menyadari jati dirinya sebagai ciptaan Tuhan. Dengan demikian, dengan berani kita dapat berkata : Lingkungan sahabatku, lingkungan sahabat kita. (*)
Nama : Jufry Anthonius. Dotulong
Tingkat III– Semester V
Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STF-SP)
E-mail : jufry_anthonius@yahoo.co.id