Sulawesi Utara dikenal sebagai suatu sosok masyarakat yang pluralistik yang memiliki banyak kemajemukan dan keberagaman dalam hal agama, tradisi, kesenian dan kebudayaannya. Pada suatu sisi pluralistik dalam masyarakat Sulut dan bangsa Indonesia bisa menjadi positif dan konstruktif tetapi di sisi lain juga bisa menjadi sebuah kekuatan yang negative dan destruktif yang dapat berakibat pada disintegrasi bangsa.
Kenyataannya sejarah masyarakat Sulut adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat di Sulawesi Utara dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dewasa ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau konflik di antara mereka. Konflik antarumat beragama yang terjadi di tanah air semakin memprihatinkan.
Bahkan dengan adanya konflik-konflik baru akan bisa merambah ke daerah lain kalau masyarakat mudah menerima isu dan provokasi dari kelompok-kelompok yang ingin memecah-belah umat, seperti yang terjadi baru-baru ini di wilayah Minahasa Utara.
Di dalam konflik antaragama itu sendiri muncul tindakan yang justru bertentangan dengan ajaran agama, dikarenakan emosi yang tidak dapat terkendali sehingga dengan mudahnya mereka bertindak anarki di luar ajaran agama. Jika dikaitkan antara ajaran agama dan tingkah laku sekelompok orang yang merusak tempat pertemuan salah satu komunitas di komplex perunahan Agape Minahasa Utara sungguh sangat kontroversial.
Padahal semua agama mengajarkan betapa pentingnya kerukunan dan kedamaian. Kalau pun terjadi konflik antarumat beragama, maka bukanlah ajaran agamanya yang salah namun umat itu sendirilah yang sempit dalam memahami ajaran agama itu sendiri.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan konflik antarumat beragama yang dapat memicu ancaman disintegrasi entitas kemanusian. Mulai dari kerusuhan, teror, fitnah dan pembunuhan yang saat ini marak terjadi melanda bangsa kita sehingga untuk menghadapi berbagai bencana tersebut, maka semua pihak hendaknya senantiasa waspada.
Sebab, berbagai cara akan dilakukan oleh provokator untuk mengadu domba antarumat beragama, antarsuku dan antaretnis sehingga persatuan dan kesatuan menjadi rapuh. Oleh karena itu, setiap umat beragama senantiasa berpegang teguh pada ajaran agamanya, agar mereka tidak akan terjebak pada isu abu-abu yang melayang-layang ditengah-tengah kita.
Konflik antarumat bergama yang berkepanjangan kalau terus dibiarkan akan menjadi petaka yang cukup besar yang dapat mengancam kesatuan bangsa. Ancaman disintegrasi bangsa sudah dekat dihadapan mata, manakala konflik antarumat bergama tidak segera diatasi.
Padahal para tokoh pendiri bangsa ini awal kemerdekaan bisa menjadikan perbedaan agama sebagai perekat tali persatuan bangsa. Simbol Negara Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yakni komitmen menjalin keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Munculnya konflik antarumat beragama karena berbagai aspek, seperti ada kecurigaan antar pemeluk agama yang satu terhadap pemeluk agama yang lain. Selain itu ada juga permainan politik kotor yang ingin mengadu domba umat beragama untuk kepentingan politik tertentu. Kecurigaan antara pemeluk agama yang sudah terpendam lama begitu mudah dimanfaatkan oleh politikus yang tidak bermoral untuk membuat konflik berkepanjangan. Rakyat yang awam pada permainan politik akhirnya hanya menanggung korban, baik harta maupun jiwa.
Perlu kita ingat bersama pula bahwa selama ini konflik-konflik yang terjadi antarumat beragama, bisa jadi disebabkan oleh faktor ketidakadilan. Di antaranya dalam hal kesenjangan ekonomi antarpenganut agama. Perlakuan kurang adil itu bisa memancing kecemburuan dari satu kelompok terhadap kelompok lain.
Apalagi antara umat beragama kurang intens mengadakan dialog agama, perlakuan tak adil demikian tambah membuka peluang terjadinya konflik. Ini terjadi karena masalah agama adalah sangat sensitif bagi para pemeluknya. Sedikit saja ada gesekan, bisa membuat penganutnya terkena emosi. Dan karena alasan fanatisme, hal itu dapat membuat tindakan mereka sulit dikontrol.
Konflik antar-umat beragama umumnya tidak dan bukan murni disebabkan oleh faktor agama, melainkan oleh yang lainnya, seperti faktor ekonomi, politik, maupun sosial. Konflik ini tidak jarang terjadi karena persoalan pendirian rumah ibadah atau cara penyiaran agama yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Atau karena adanya salah paham di antara pemeluk agama. Konflik internal umat beragama terjadi karena adanya pemahaman yang menganggap hanya aliran sendiri yang benar dan menyalahkan yang lain, pemahaman yang diselewengkan atau pemahaman yang bebas semau sendiri tanpa mengikuti kaidah-kaidah yang ada. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pluralisme, akan melahirkan karakter apatis terhadap toleransi beragama.
Semua agama di dunia mengajarkan kepada setiap umatnya untuk saling mengasihi dan menghormati pemeluk agama lain, seperti halnya di Sulawesi Utara didasari juga dengan filosofinya: “TORANG SAMUA BASUDARA KARENA TORANG SAMUA CIPTAAN TUHAN”.
Bersyukurlah kita semua masyarakat Sulawesi Utara khususnya masyarakat Minahasa Utara bahwa gesekan yang terjadi baru-baru ini di Minahasa Utara tidak berkembang menjadi konflik horizontal karena kesigapan pihak POLDA SULUT dan para Tokoh Agama yg turun langsung menangani permadalahan yang terjadi.
Sebagai saran, alangkah indahnya kita lakukan dialog antaragama secara periodik untuk menyatukan visi kedepan membangun bangsa kita ini dari aspek keagamaan. Barangkali penyelesaian konflik antarumat Bergama harus dimulai dengan menghilangkan rasa saling curiga dan dendam antarsesama.