Partai Politik (Parpol). Membaca dua kata ini, seperti membangkitkan gambaran koridor-koridor dengan dinding-dinding artistik, dan para pejabat bersetelan tuxedo kontemporer, pertemuan rahasia di tengah keramaian, rahasia yang dibisikkan dalam suasana demokratis, percakapan yang sangat rasionalistis, disertai polesan intimidasi yang sangat romantis.
Kata-kata itu menimbulkan kesan alur cerita, penuh tips dan intrik dengan sejuta ketegangan, jalan cerita bagi ratusan skenario yang masih misteri. Kata-kata dan gambaran itu dua kali lipat kuatnya melebihi imajinasi populer ditambah goresan kontemporer, yang didukung kekuasaan birokrat, dipancing dalam atau oleh misteri dan kemewahan yang membalut kabinet dan parlemen.
Kata-kata tersebut seakan menggambarkan dan menegaskan adanya praktek spionase dengan ratusan intelijen multi status, pro dan kontra. Di sampingnya berdiri ruang-ruang futuristik yang penuh agenda, tersusun rapih di atas meja kerja ukiran zaman borjuis abad yang ‘kesekian’ ini. Jurnal-jurnal dan konferensi-konferensi yang berbuntut perang nalar, lempar opini demi kepentingan politis yang masih misteri pula. Di atas meja kerjanya, berhamburan daftar-daftar pers hingga institusi akademik, dan bahkan kelompok-kelompok diskusi elektronik.
Berita Lainnya
Sibuk…Kesibukkannya tak lekang oleh waktu. Bahkan problem riskan dianggap sebagai stimulus bagi aksi spektakuler selanjutnya. Persepsi dan perspektif yang dibentuk memiliki dasar yang kuat, berbekal ADRT. Walau di balik itu hati nurani dibelenggu, dipenjarakan. Kisahnya akrab sekali dengan kata ‘Lengser’. Seakan-akan itu adalah konsekuensi, mirip hasil seleksi alam. Regenerasi pun bermakna ganda. Hanya dua opsi. “Sudah Saatnya” ataukah “Saatnya Disudahi”.
Harga sebuah transisi tergantung pada kantong-kantong diplomatik. Negosiasi tak hanya alot bahkan riskan. Seperti “petak umpet” zaman modern yang dibumbui dengan sistem baru “Lempar Handuk”. Jika terjebak, banyak yang mendapati diri mereka mengabaikan secangkir kopi Espresso/Capucino dan kue-kue kering demi mencari bantuan untuk menemukan acuan keamanan komunikasi, security defensif dan bahkan ada yang mencari perlindungan di belakang parlemen, kabinet, dan paripurna.
Institusinya kerapkali tak jauh dari istilah ‘medan’. Lahan negosiasi bagi kepentingan tersembunyi yang ‘awal-berawal dan akhir-terakhir’-nya seringkali sama, kertas bernilai. Klaim legitimasi dari rakyat yang mestinya dilihat sebagai prinsip ‘keramat’ terlalu sedikit digubris. Padahal, dasar legalitas yang dimiliki tak boleh meniadakan klaim legitimasi dari rakyat[1].
Kepastian perubahan tak pernah berhenti pada kata sepakat. Selalu tertera dengan jelas ungkapan ‘tapi atau namun’ dalam konferensi-konstitusi. Padahal, rakyat semakin menggila dan lapar akan cita-cita kesejahteraan dan pemerataan. Kepribadian rakyat semakin bergeser, jeritan rakyat semakin meninggi. Jeritan yang sering mempersalahkan takdir dan nasib yang menimpa. Tak hanya itu. Paradigma berpikir rakyat mulai menyimpang. Spirit fatalisme membumbung ke langit, dilapisi mentalitas baru dengan metode ‘duduk dan klik’.
Kepribadiannya sering digarap dalam proses yang tanpa asal-usul. Meski dalam diam mereka sering menyadari segala sesuatu selalu berkembang dari masa lampaunya[2] termasuk eksistensi-esensial mereka sebagai manusia dan eksistensi-aksidental mereka sebagai golongan aristokrat, kaum intelektual. Kekuasaan yang dimiliki sekarang tak pernah luput dari sistim pencitraan. Padahal kekuasaan bukanlah apa yang diinginkan oleh kehendak tetapi sebaiknya, oleh yang menginginkan kehendak. Dan “menginginkan atau mencari kekuasaan” hanyalah merupakan tingkat paling rendah dari kehendak untuk berkuasa[3]. Ambisi atau kehendak berkuasa hanyalah proses ‘menjadi’[4].
Parpol. Kata tersebut, seakan menegaskan adanya rasa ketakpuasan dalam bekerja. Rutinitas skema prosedural, agenda-agenda riskan yang mau tak mau harus diikuti, analisis-analisis kebijakan sosial dengan meterai material, serta kepastian akan hari esok dalam balutan nomor-nomor rekening. Keniscayaan seakan bergantung pada penetapan. Sedangkan kesementaraan dipandang sebelah mata. “Semuanya bisa diatur,” ujar salah seorang politisi kawakan yang dimiliki Republik Indonesia tercinta.
Makna pekerjaan yang harusnya dipandang sebagai bumbu pelengkap agar makna eksistensi dapat dinikmati, sekarang tak berlaku lagi. Tujuan dari pekerjaannya sekarang, sama sekali berbeda dengan definisi yang diulas dengan romantisnya pada buku-buku pengetahuan yang berjejer di setiap perpustakaan[5]. Pantaslah jika kesetiaan terhadap institusi muncul karena dia telah ada selama bertahun-tahun, jatuh-bangun di antara hiruk pikuk problema yang seringkali membuatnya terpaku pada situasi memabukkan, dilemma. Alasannya hanya satu. Barang siapa berkhianat kepada Negara, dengan alasan tepat atau tidak, tetap saja berarti, ia menyakiti dirinya sendiri[6]. Masih adakah yang berefleksi dari prinsip yang begitu mengagumkan ini?
Sangat sulit! Saya berpikir, sangat sulit bagi mereka untuk berefleksi. Sebab kata parpol, seakan menggambarkan pula adanya praktek pengkhianatan yang tersembunyi, sikap-sikap membelot ke arah kiri dan kanan, atau keberpihakkan terhadap oposisi atau ‘tifosi’. Kata tersebut seakan membuka lembar usang tentang eksistensi Mesianisme Ratu Adil atau Satria Piningit yang berisi mitos, adanya pertarungan kekuasan antara kekuatan reformis dan pro status quo, di masa Orde Lama. Entah siapakah yang harus menjadi ‘badut’ atau ‘setan’. Siapa menyelamatkan siapa atau siapa yang melengserkan siapa[7].
Perdebatan selalu hadir bereksistensi dalam setiap aktivitas paripurna. Seakan-akan logika abad Yunani kuno paling signifikan bagi penentuan amandemen. Pantas saja, dalam paripurna terdapat dua karakter yang biasanya digunakan para politisi. Yang satu menganut stoisisme (Kaum Stoa) dengan metode retorika, dan satunya lagi menggunakan metode dialektika Socrates[8]. Dunianya, gemar sekali beraktivitas kritik-mengkritik ibarat filsuf, meski kerapkali terjebak dalam ungkapan-ungkapan verbalis, ambigu dan bahkan absurd; mereka kerapkali terjebak untuk menyamakan kritik dengan pembalasan dendam lewat opini, keengganan atau resentimen. Padahal, kritik bukan suatu reaksi dari resentimen namun merupakan ekspresi aktif dari suatu bentuk eksistensi yang aktif. Serangan bukan balas dendam, agresi alami atas cara berada, atau suatu kekejaman yang apabila tidak ada maka kesempurnaan juga tidak akan pernah ada (EH I 6-7)[9].
Lantas, bagaimana dengan kiprahnya dalam demokrasi? Selalu menciptakan mascot baru, tanpa ingin meneruskan praksis-praksis positif yang diwariskan sistim yang lama. Padahal, Nil nuovo sub solle[10]. Sistimnya reformasi, tapi praksisnya masih kental dengan ranah politik Orde Baru. Mekanisme subordinasi kedaulatan rakyat dan hukum pada kehendak penguasa disiasati melalui prosedur yang tampak demokratis tetapi sesungguhnya manipulatif. Sebab dalam komunikasi unilateral itu, masyarakat digiring untuk mengamini kehendak penguasa. Demokrasi yang menghargai perbedaan pendapat dimanipulasi melalui eufemisme dan jargon kekuasaan sehingga komunikasi politik tidak hanya tampak sebagai siasat menyelubungi kebenaran tetapi juga sebagai strategi pembodohan rakyat. Pendidikan moral melalui penataran P-4 lalu menjadi cara sistematik untuk menguasai “kebenaran” yang memihak pada penguasa[11].
Akhirnya, Kata parpol dapat pula menggambarkan adanya praktek negasi kontemporer terhadap realitas dalam persepsi “semua ini hanya fiksi dan bisa diatur”. Adanya praktek penyangkalan atau pengingkaran terhadap fakta-fakta empirik rakyat yang telah sekian lama menyejarah seperti termaktub dalam program Reality Show karya Trans TV, ‘Minta Tolong’, atau harapan indah ‘Jika Aku Menjadi”. Kata ini pula mengandung kombinasi pengingkaran antara insting dan nurani, pengingkaran terhadap bejana-bejana yang penuh dengan lembar-lembar aspirasi konstituen atau yang bukan konstituen, pengingkaran terhadap tender-tender proyek dengan miliaran rupiah, pengingkaran terhadap fakta-fakta pelanggaran yang berhamburan di atas meja Hakim dan Jaksa, entah siapakah yang harus bertindak sebagai produsen atau konsumen, penyedia atau pelaksana, ‘pembeli’ atau ‘kasir’.
Parpol, kompleksitas terminology yang menggugah selera. Penuh bumbu dan penyedap rasa, lembar-lembar ujian bagi bangsa dan Negara, yang disusun berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika!
Oleh: Ivan Jeremy
[box type=”note” align=”aligncenter” ]Daftar Pustaka : [1] Bdk., Seran Alexander, Moral Politik Hukum, (Obor: Jakarta, 1999), hlm., 1. [2] Bdk. DR. Hadi Hardono, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, (Kanisius: Yogyakarta, 1996,) hlm., 109. “Yang jelas kepribadian manusia yang sedang digarap di dalam proses yang sekarang bukanlah yang tanpa asal-usul. Segala sesuatu selalu berkembang dari masa lampaunya. Maka kepribadian manusia pun juga berkembang dari masa lampaunya, yang meliputi dirinya sendiri dan dunianya. Maka kepribadian yang tercapai di masa lampau berperan menjadi datum yang ditawarkan kepada manusia tersebut yang sedang membentuk kepribadiannya sekarang…” [3] Bdk. Deleuze Gilles, Filsafat Nietzsche, (Ikon Teralitera: Yogyakarta, 2002), hlm., 2. “Nietzsche mengatakan, bahwa kehendak untuk berkuasa; bukan menginginkan, mendambakan, atau mencari, tetapi hanya memberi atau menciptakan….” [4] Ibid., hlm., 9. [5] Bdk. Britton Karl, Filsafat Kehidupan: Dekonstruksi atas Makna Kehidupan, (Ar-Ruzz: Yogyakarta, 2002), hlm., 105. [6] Ibid., hlm., 110. [7] Bdk., Seran Alexander, Moral Politik Hukum, (Obor: Jakarta, 1999), hlm., 14-15. [8] Di mana metode tersebut cukup ampuh membedah kebenaran yang diklaim kaum stoa sebagai kebenaran yang tak terbantahkan lagi. [9] Lih., Deleuze Gilles, Filsafat Nietzsche, (Ikon Teralitera: Yogyakarta, 2002), hlm., 3-4. [10] Dari bahasa Latin yang artinya, tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. [11] Lih., Seran Alexander, Moral Politik Hukum, (Obor: Jakarta, 1999), hlm., 18-19. [/box]