Oleh: Ventje O. Jacob / Pengamat dan Pemerhati Sosial Kemasyarakatan
Awan kelabu kembali menyelimuti Sulawesi Tengah tepatnya di Kabupaten Sigi Kecamatan Palolo. Kelompok Teroris pimpinan Ali Kalora berulah lagi yang mengakibatkan 4 orang meninggal dunia, 6 unit rumah warga dan 1 unit rumah ibadah dibakar.
Berita Lainnya
Anda masih ingat seorang dosen yang ditangkap oleh Densus 88 Polri dan ditahan karena terbukti memiliki puluhan bom molotov yang siap diledakkan? Dosen sebuah perguruan tinggi terkemuka di Jawa Barat itu ditengarai dibantu beberapa orang perakit bom yang rencananya akan diledakkan pada sebuah demo.
Fenomena itu mengagetkan banyak orang karena merupakan kejadian yang membuka mata kita bersama bahwa radikalisme (termasuk intoleransi) itu telah memapar banyak orang, banyak komunitas bahkan komunitas intelektual.
Kita juga tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa akhir-akhir ini dosen-dosen, guru-guru dan para tokoh agama ada yang berpandangan intoleran.
Kebanyakan dari mereka merupakan sosok yang diidolakan atau difavoritkan. Ini adalah sebuah ironi sekaligus tantangan bagi dunia pendidikan dan kepolisian negara Republik Indonesia.
Kita juga sering mendapati kenyataan serupa, semisal kita mendapati bahwa sebuah fakultas dari sebuah universitas tersohor di negeri ini ditemukan telah terpapar radikalisme. Fakultas ini memiliki kegiatan ekstra kulikuler yang ditengarai menjadi pintu dari banyak ajaran radikal dan intoleran dan sudah terjadi puluhan tahun silam.
Di sekolah dan di kampus, intoleran dan radikalisme menyemai dari berbagai penjuru. Bisa kita temukan di soal-soal ujian, kita temukan di ajaran guru-guru favorit di sekolah bahkan di beberapa ekstra kulikuler keagamaan, unsur pembeda ini merupakan sesuatu yang penting
Dan jika kita lihat kejadian bom Surabaya yang menggedor nurani kita karena tiga gereja meledak pada saat yang hampir bersamaan dan dilakukan oleh satu keluarga; ini adalah buah dari sikap itoleransi yang dikenalkan di kampus berpuluh tahun lalu.
Memang ada mata kuliah Pancasila atau Filsafat Pancasila namun pada beberapa orang mata kuliah itu hanya dianggap formalitas dan tidak dianggap penting. Tidak ada kesadaran menginternalisasi nilai-nilai, kesadaran ber-Indonesia yang plural dan toleran.
Inilah PR (Pekerjaan Rumah) yang lumayan berat bagi kita sekarang khususnya POLRI+TNI. Sekolah bahkan kampus merupakan miniatur kewarganegaraan Indonesia yang Pancasilais. Miniatur ini seharusnya menjadi teladan bagi masing-masing komunitas asal untuk membangun Indonesia yang plural dan berkemajuan, dan bukan sebaliknya; mempersoalkan perbedaan keyakinan yang tidak seharusnya dipersoalkan.
Lain dengan Teknologi dan informasi ibarat pisau bermata dua, satu sisi bisa memberikan nilai positif, juga terkadang mendatangkan negative dan kemudharatan. Salah satunya dengan membuminya penggunaan internet menjadi perantara oleh pihak radikal dalam menjalankan aksinya.
Internet menjadi lahan basah bagi kelompok radikal, apalagi ditambah situasi seperti saat ini. ketika semua aktivitas kehidupan berbasis online.
Thingking negative memang dilarang dalam agama, namun kita wajib waspada karena bisa jadi seminar online tersebut adalah kedok dari kaum radikal untuk menyebarkan pengaruhnya. Sebagai co toh di online meeting, bagaimana cara mengetahui modus operasi dari kaum radikal? Biasanya di awal seminar diperlihatkan bagaimana cara untuk berdamai dan mendekatkan diri kepada-Nya. Namun di tengah-tengah, diperlihatkan video dan berita hoax tentang kebijakan pemerintah yang tidak mereka setujui. Juga ada narasi bahwa presiden adalah orang yang kurang bijak. Hal itu sudah membuat kita merasa aneh, ini seminar online atau ajang pencucian otak dari para teroris?
Belakangan istilah “radikalisme” menjadi buzzword yang begitu populer. Sejumlah kementerian dalam kabinet Presiden Joko Widodo periode kedua diberi mandat khusus menangkal radikalisme agama. Kabar teranyar, Presiden Jokowi mengusulkan istilah “radikalisme” diganti dengan “manipulator agama”. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Polri dengan team Cyber Crim senantiasa siaga dalam menghalau dan memerangi kelompok-kelopok kejahatan dunia maya dewasa ini.
Kaum radikalisme tak akan luput daripemantauan dan pengejaran Polri. Pergerakan kelompok radikalisme sebenarnya sangat luas, sehingga radikalisme dikaitkan dengan hal-hal problematik. Misalnya, ujung dari proses radikalisasi ialah kekerasan atau terorisme.
Menarik dengan seruan Prof. Hosen perlu digaris bawahi karena beberapa alasan, yakni:
Pertama, penyebaran ideologi radikal cenderung menyasar kampus-kampus umum, yang tidak mengajarkan materi agama. Tujuh universitas negeri yang diidentifikasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), semuanya adalah kampus umum. (Dalam kaitan ini, banyak kalangan mempertanyakan wisdom Presiden Jokowi menunjuk purnawirawan sebagai Menteri Agama dengan mandat menangkal radikalisme, karena radikalisasi anak muda justeru terjadi di luar wilayah kementerian agama.
Kedua, fenomena radikalisasi anak muda terpelajar tampaknya mengikuti prinsip “mudah masuk, mudah keluar.” Barangkali karena minimnya pengetahuan agama, banyak mahasiswa begitu mudah tertarik pada kegiatan kelompok radikal, ikut pengajian atau yang dikenal dengan “liqa” (pertemuan).
Ketiga, kebijakan program deradikalisasi harus menyentuh akar masalah, tapi juga mengabaikan potensi deradikalisasi-diri (self-deradicalization) yang kerap terjadi di kalangan anak muda terpelajar. Perlu dicatat, walaupun ada orang merasa “menemukan kebenaran” setelah bergabung dengan kelompok radikal, tidak sedikit juga yang mengaku berada di jalan yang salah dan akhirnya kembali memilih kehidupan normal.