Yogyakarta – Asosiasi Ilmi Politik Indonesia (AIPI) mengelar Seminar Nasional AIPI “Pemilu Serentak 2019”, di Fisipol UGM 27-28 April 2019.l ini menghasilkan rumusan. Seminar di hadiri Mendagri, ketua DKPP , Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Dr. S.H Sarundajang, anggota KPU Hasyim Ashari, Prof Dr Ikrar Nusa bakti, Prof Dr Syamsudin Haris dan ketua umum AIPI Dr Alfitra Salam.
Kegiatan selama 3 hari 26-28 di PolGov Fisip UGM ini memilih tim perumus nasional terhadap pokok-pokok pikiran hasil seminar nasional yaitu, Nur Hasyim dari pusat penelitian politik LIPI. Ferry Daud Liando dari Ilmu Politik Fisip Unsrat dan Mada Sukmajati dari PolGov Fisip UGM selaku tuan rumah.
Adapun pokok-pokok pikiran SemNas rumusannya adalah sebagai berikut :
RUMUSAN
SEMINAR NASIONAL XXVII AIPI
“PEMILU SERENTAK 2019”
FISIPOL-UGM Yogyakarta, 27-28 April 2017
Seminar Nasional XXVII Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dengan tema: “Pemilu Serentak 2019” dilaksanakan di FISIPOL-UGM Yogyakarta, 27-28 April 2017. Seminar dihadiri sekitar 150 orang peserta yang terdiri atas para ilmuan politik anggota AIPI, Pengurus Pusat dan Cabang AIPI, mahasiswa, dan beberapa politisi di Indonesia. Didahului oleh pidato pengantar Ketua Umum PP AIPI Dr. Alfitra Salamm dan Wakil Dekan FISIPOL-UGM Dr. Wawan Masudi, seminar selanjutnya dibuka oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Sebelum pembahasan pemakalah utama dan pilihan, seminar diawali oleh dua orang keynote speakers, yaitu Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof. Dr. Jimly Assidiqie.
Wakil Dekan FISIPOL UGM menekankan bahwa capaian demokrasi di Indonesia telah diakui oleh sejumlah negara-negara sahabat. Namun demikian tak dapat dipungkiri masih adanya sejumlah persoalan berkaitan dengan kondisi demokrasi kita saat ini, seperti praktik politik uang, budaya parokial, dan sejumlah persoalan lainnya. Hal yang sama juga disinggung oleh Sri Sultan dalam sambutannya, bahwa praktik demokrasi masih diwarnai oleh kuatnya nilai-nilai identitas. Gubernur DIY juga mengingatkan budaya politik yang pernah disampaikan pada Seminar Nasional II AIPI, 20 tahun yang lalu, bahwa budaya politik dan kekuasaan memiliki hubungan yang erat dengan situasi sekarang, karena seorang pemimpin pada dasarnya adalah melayani, abdi masyarakat. Kepemimpinan adalah tanggungjawab, keteladaan, dan penderitaan. Kepemimpinan bukanlah konteks popularitas, karena pada dasarnya pemimpin bukanlah penguasa, tetapi seorang yang berani menderita dalam melayani masyarakat, abdi masyarakat.
Menteri Dalam Negeri, Tjahyo Kumolo menegaskan bahwa perubahan sistem pemilu perlu dirancang secara jangka panjang, tidak setiap lima tahun dilakukan perubahan. Pilihan terhadap sistem pemilu proporsional, apakah terbuka atau tertutup, merupakan isu krusial di antara 13 isu krusial Pemilu Serentak 2019. Selain sistem pemilu, isu penambahan kursi bagi sejumlah daerah, karena harga tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain, juga isu parliamentary threshold, dan calon tunggal presiden. Isu krusial lain juga berkaitan dengan apakah yang dimaksud keserentakan pemilu itu harus sama ataukah bisa beda waktu 1 atau 3 hari. Dalam nafas yang hampir senada, dalam menyongsong Pemilu Serentak 2019, Prof. Jimly Assidiqie mengingatkan pentingnya pencegahan persoalan etika dalam konteks penyelenggaraan pemilu. Dari pengalaman selama ini, sumber persoalan etika bukan hanya berasal dari penyelenggara pemilu, tetapi lebih banyak dari peserta pemilu, yaitu partai politik dan kandididat.
Selama satu setengah hari, Seminar Nasional XXVII AIPI telah membahas isu-isu krusial yang berhubungan dengan tema Pemilu Serentak 2019. Isu-isu tersebut adalah: Desain Pemilu Serentak 2019, Isu-isu krusial dalam UU Pemilu Serentak 2019; Kesiapan Penyelenggara Pemilu dalam Pemilu Serentak 2019; Potensi Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu dalam Pemilu Serentak 2019; dan Sistem Pengawasan dalam Pemilu Serentak 2019. Selain lima isu tersebut, juga dibahas sejumlah isu lain yang berasal dari 15 makalah pilihan, yaitu Ambang Batas dan Legitimasi Peserta Pemilu Serentak; Dampak Ambang Batas Presidensial; Ci(ne)tizen Participation: Media dan Political Literacy; Gagasan Desain Aturan Pemilu Serentak; Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu Serentak; Efektivitas dan Coattail Effect Pemilu Serentak; Penyelesaian Pidana Pemilu, Demokratisasi Pemilu Serentak, dan Tantangan Pemilu Serentak 2019.
Dari pembahasan para peserta Seminar Nasional XXVII AIPI di FISIPOL-UGM Yogyakarta pada 27 April 2017 dapat direkomendasikan beberapa hal berikut:
1. Perlu konsistensi dan koherensi antara sistem presidensial dengan sistem kepartaian dan sistem pemilu. Tujuan pemilu salah satunya adalah mengefektifkan sistem presidensial, maka kebutuhan ideal ke depan adalah sistem pemilu serentak yang terpisah antara sistem pemilu serentak nasional dengan pemilu serentak lokal. Dengan demikian akan lahir sistem presidensiil yang efektif sekaligus diperkuat oleh sistem kepartaian yang stabil. Konsekuensi logisnya diperlukan perubahan-perubahan dalam formula besaran daerah pemilih dan teknik penghitungan kursi.
2. Pemilu lima (5) kotak tetap dijalankan, resikonya kita tidak mendapatkan insentif dari gagasan keserentakan pemilu, kecuali sekedar insentif waktu dan dana. Harusnya ada efek bagi pemerintahan pusat dan daerah. Selain itu, dengan pemilu 5 kotak, kualitas pemilu justru akan mengalami kemunduran, apalagi jika sistem proporsional yang digunakan adalah sistem proporsional terbuka. Pemilu lima (5) kotak juga tidak akan berdampak secara signifikan pada sistem presidensial, walau oleh perancang RUU Pemilu memang tidak diarahkan ke sana. Namun, sebuah perubahan UU Pemilu perlu didorong untuk mencapai tujuan minimal dalam memperkuat sistem presidensial melalui terwujudnya sistem kepartaian moderat dengan adanya partai pemenang mayoritas di parlemen sebagai penopang pemerintahan. Kekuatan mayoritas ini akan memudahkan bekerjanya sistem presidensial.
3. Terhadap isu presidential threshold, dalam Seminar Nasional XXVII AIPI ditekankan bahwa dalam pemilu serentak – ambang batas presiden sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden tidak lagi relevan dengan prinsip keserentakan penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu, makna ambang batas presiden tidak perlu diatur dalam UU Pemilu Serentak karena justru bertentangan dengan prinsip kerentakan pemilu presiden dan legislatif. Sebaliknya, parliamentary threshold yang signifikan (antara 7-10 persen) akan mendorong lahirnya sistem kepartaian sederhana.
4. Diperlukan pengaturan model koalisi yang relatif longgar khususnya pada Pemilu Presiden putaran pertama. UU Pemilu Serentak 2019 sebaiknya mengatur mekanisme dan tata cara pembentukan koalisi sebelum pemilu serentak dilakukan atau minimal pada tahap setelah ditetapkan partai politik peserta pemilu. Selanjutnya pada putaran kedua [apabila tidak ada calon yang mencapai batas minimal syarat mayoritas 50% + 1], partai-partai yang calonnya kalah dapat bergabung dengan koalisi partai yang telah ada. Bentuk koalisi pada putaran kedua ini merupakan bentuk koalisi yang dipermanenkan untuk satu periode pemerintahan.
5. Proses kandidasi calon presiden dan wakil presiden dilakukan melalui pemilu pendahuluan sebagai salah satu cara agar partai politik melibatkan banyak pihak (publik) dalam proses penentuan calon presiden dan wakil presiden.
6. Perlunya kejelasan rumusan hukum yang menjadi pegangan bagi penyelenggara pemilu serentak 2019 dalam bentuk Undang-Undang. Kejeleasan ini khususnya yang mengatur mengenai district magnitude (besaran daerah pemilihan), alokasi kursi yang disesuaikan dengan proporsionalitas pemilih, keadilan pemilu, prinsip pemilu tanpa kekerasan, dan independensi penyelenggara pemilu.
7. Dalam rangka menjaga representasi keterwakilan perempuan dalam Pemilu Serentak 2019, RUU Pemilu Serentak sebelum diundangkan sebaiknya mengatur kewajiban dan keharusan bagi partai untuk menetapkan representasi keterwakilan perempuan, baik pada saat penyusunan calon anggota legislatif, maupun dalam kepengurusan partai politik.
8. Dalam rangka memperbaiki kualitas hasil pemilu, khususnya kualitas calon anggota perwakilan rakyat, perlu adanya kewajiban bagi partai untuk melakukan proses kandidasi yang demokratis di internal partai secara terbuka yang melibatkan publik dan/atau anggota partai politik.
9. Tata kelola pemilu, sangat tergantung pada pilihan sistem pemilu dan pengertian (maksud) pemilu serentak. Sistem pemilu akan berhubungan dengan disain surat suara (ballot vote). Dari sisi penyelenggara pemilu, sistem tertutup lebih memudahkan aspek tata kelola pemilu. Dengan 2.453 daerah pemilihan, sehingga disain surat suara akan sangat menentukan. Pengertian pemilu serentak—sebagai pemilu untuk memilih 5 suara (5 kotak suara) ataukah dipisah menjadi pemilu nasional dan pemiluh daerah dengan jeda waktu. Keserentakan ini perlu diperjelas, apakah serentak pencoblosan, atau serentak periode waktunya. Selain itu, perlu pengaturan tentang kodifikasi daftar pemilih antara pemilu serentak 2019 dengan pilkada serentak, khususnya perpindahan warga untuk memilih berdasarkan NIK yang single, atau tidak diubah. Dalam UU Pemilu Serentak 2019 juga perlu ada sinkronisasi tentang siapa yang menentukan penduduk, warga negara, dan pemilih, sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran. Tata kelola pemilu juga ditentukan oleh masa jabatan KPU di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang masa jabatannya akan berakhir pada saat tahapan penyelenggaraan Pemilu 2019 belum selesai.
10. Dalam hal pengawasan, sistem keadilan pemilu belum sempurna, karena hanya didesain dalam dua sistem yaitu sistem pencegahan dan electoral dispute. Tetapi, belum ada alternative dispute solution sebagai landasaran keadilan pemilu. Padahal keserentakan pemilu akan banyak kasus pelanggaran yang dilaporkan ke Bawaslu. UU Pemilu Serentak 2019 perlu memberi paying hukum model penyelesaikan sengketa dalam kerangka dispute resolution. Payung hukum ini sekaligus melindungi Bawaslu dalam menjalankan tugas, dan dapat menyelesaikan kasus-kasus yang kecil-kecil melalui negosiasi, mediasi dan arbitrer.
11. Berkaitan dengan penyelesaian kasus politik uang, masih ada masalah pengaturan yang tidak konsisten khususunya pada RUU Pemilu Pasal 497 yang mengatur bahwa politik uang hanya pada subjek hukum yang terbatas (bukan setiap orang). Inkonsistensi lain ada kemungkinan politik uang diperbolehkan pada hari pemungutan suara. Sengketa Pemilu perlu dilakukan oleh sebuah lembaga (Sentra Penegakan Hukum Pemilu) dengan kewenangan yang jelas, termasuk kewenangan untuk menyita barang bukti yang selama ini tidak dimiliki. Pelanggaran dana kampanye idealnya tidak dibatasi oleh waktu, tetapi memiliki jangka waktu yang lebih panjang kurang lebih 2 tahun.
12. Diperlukan pengaturan etika penyelenggaraan pemilu 2019. Keberadaan lembaga penegak etik penyelenggaraan pemilu 2019 ini perlu diperkuat. Penguatan lembaga penegakan etik perlu diiringi oleh pembenahan sistem rekrutmen penyelenggara pemilu (KPU), karena apabila komisioner terkena kasus etik akan digantikan menurut sistem daftar tunggu. Masalahnya, orang yang ada dalam daftar tunggu belum tentu jauh lebih baik dari yang akan digantikan.
13. Perlu melakukan antisipasi persoalan etika, karena sumber persoalan etika bukan hanya berasal dari etika penyelenggara pemilu, tetapi bersumber dari peserta (partai dan kandidat). Oleh karena itu, diperlukan perubahan Undang-Undang, bukan hanya mengatur tentang penyelenggara pemilu, tetapi yang diperlukan adalah UU Penyelenggaraan Pemilu. Minimal ada enam aturan etika penyelenggaraan pemilu yang diperlukan, yaitu: (a) integritas calon atau kandidat dalam penyelenggaraan pemilu; (b) sikap percaya terhadap penyelenggara, (c) sikap taat asas bahwa calon tidak melakukan judicial review, (d) larangan hubungan pribadi antara calon dengan penyelenggara, bila ada hubungan perlu dideklarasikan kepada publik, (f) Standar etik mencakup aturan suap kepada pemilih, dan (g) etika hubungan antarcalon—di mana calon tidak perlu mengurusi calon yang menjadi lawan politiknya.
Demikian rumusan hasil Seminar Nasional XXVII Asosiasi Ilmu Politik Indonesia.
FISIPOL-UGM, Yogyakarta, 28 April 2017
ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA (AIPI)