
MANADO – Sistem perhitungan perolehan kursi dalam pemilu 2019 nanti sudah diatur dalam aturan.
Beberapa catatan menarik diungkapkan oleh Johnny Alexander Suak/ Staf Khusus Gubernur Bidang Kajian Strategis dan KABID Bina Ideologi, Wawasan Kebangsaan dan Karakter Bangsa KESBANGPOL SULUT.
Juga sebagai Direktur Electoral anangement and Constitution Sulut (EMC), Jhony Alexander Suak (7AS) ingin menjelaskan beberapa hal. Catatannya adalah sebagai berikut :
Bila ditanyakan, berapa batas pembagi bilangan tetap 1, 3, 5, 7, dan seterusnya. Tergantung pada dua hal:
(1). ‘Semakin ketat kompetisi dan perolehan suara parpol, maka semakin kecil/sedikit bilangan pembagi tetapnya’. Sebaliknya, bila ada parpol yg mendominasi perolehan suara semakin banyak/panjang bilangan pembaginya.
(2) Batas ‘kuota jumlah kursi setiap daerah pemilihan’. Ketika diranking jumlah suara parpol untuk mendapat kursi sudah habis sesuai kuota kursi daerah pemilihan itu, selesai sudah.
Bila disimpulkan, formulan Sainte League Murni lebih praktis dibanding sistem BPP yg selalu ada sisa suara yang harus dipertimbangkan dalam penentuan kursi legislatif.
Dalam UU 7/2017 telah diatur ketentuan kuota kursi Dapil provinsi berkisar 3-12 kursi.
Bila 16 parpol penuh berkompetisi di Dapil Provinsi dgn kuota kursi 12. Setelah diketahui hasil perolehan suara sah 16 parpol itu merata. Maka cukup dibagi dgn bilangan tetap 1 untuk diranking habis pengisian kursinya hingga 12 kursi di Dapil tersebut. Kalau ada suara sama, ditentukan berdasarkan sebaran perolehan suaranya. Dan pembulatan hasil pembagian yang berupa pecahan.
Penentuan kursi bagi partai politik untuk menempatkan calon legislatifnya sebagai Calon Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, secara nasional saat ini menggunakan ketentuan Parliamentary Threshold dengan suara minimal sebesar empat persen.
Dalam ketentuan ini diatur batas suara minimal partai politik untuk ikut dalam penentuan perolehan kursi bagi partai politik. Sesuai dengan Pasal 414 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, ditentukan bahwa ambang batas parlemen atau parliamentary threshold adalah 4 persen dari total suara sah nasional. Artinya Parpol yang tidak memperoleh minimal 4 persen suara dalam Pemilu 2019 tidak berhak memiliki kursi di Parlemen.
“Sesuai dengan peraturan, parliamentary threshold ditetapkan empat persen secara nasional untuk DPR RI,”
Data terhimpun, melalui ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mensinergikan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pansus tidak ingin memberikan kesempatan berkembangnya partai lokal yang dapat menimbulkan masalah disintegrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun, penerapan Parliamentary Threshold dengan suara minimal 4 persen suara sah nasional ini tentu akan menjadi beban berat bagi partai politik, khususnya partai politik baru yang sedang giat memulai pergerakannya. Karena untuk pemilu kali ini akan diikuti oleh sejumlah nama partai baru, yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda), dan Partai Berkarya.
Dalam perkembangannya, sebenarnya Parliamentary threshold ini sudah diperkenalkan pertama kali pada Pemilihan Umum 2009. Diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 202, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional, dan hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
Selanjutnya pada pemilu tahun 2014, Undang-undang Pemilu kembali direvisi menjadi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012, yang menetapkan ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 3,5 persen.
Terakhir, Undang-undang Pemilu tersebut diubah lagi menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, dan ketentuan ambang batas kembali dinaikkan menjadi 4 persen dari suara sah nasional. Aturan inilah yang saat ini dipakai oleh KPU dalam pemilu 2019 untuk menempatkan calon legislatif di kursi DPR RI.